Ibu Kota Nusantara dibangun dengan semangat yang menggebu-gebu. Di atas kertas, IKN adalah simbol masa depan---pusat pemerintahan modern yang meninggalkan hiruk-pikuk Jakarta demi menciptakan kota hijau, pintar, dan beradab.
Tapi di balik kemegahan rencana, suara mesin ekskavator, dan spanduk-spanduk semangat pembangunan, ada satu sisi yang pelan-pelan ikut tumbuh. Sisi yang tak masuk dalam RPJMN, tak tercatat dalam laporan keuangan proyek, tapi eksis dan bergerak seperti jam kerja lembur: pelampiasan badan.
Satpol PP Penajam Paser Utara selama dua tahun terakhir sudah menciduk 70 pekerja seks komersial yang beroperasi diam-diam di sekitar Kawasan Inti Pemerintahan IKN. Mereka menyamar sebagai tamu guest house, menyasar pelanggan lewat aplikasi hijau yang sejatinya diciptakan untuk ojek online. Tapi di tangan mereka, aplikasi itu berubah fungsi: bukan lagi antar orang, tapi antar urusan bawah perut.
Yang datang ke kawasan ini bukan cuma teknokrat, ASN, dan kontraktor. Tapi juga perempuan-perempuan dari Jawa Barat, Yogyakarta, Makassar, Balikpapan---semuanya terbang bukan untuk mencari jabatan, melainkan mencari pelanggan. Mobilitas mereka bahkan mengalahkan birokrasi; lebih gesit, lebih adaptif. Maka jangan heran jika pelampiasan bisa tiba sebelum pembangunan selesai, karena nafsu memang tak butuh tender dan izin lingkungan.
Para PSK yang tertangkap tidak dipenjara. Mereka hanya diminta menandatangani surat pernyataan di atas materai, lalu dipulangkan ke kota asal dalam waktu maksimal dua kali dua puluh empat jam.
Sebuah pendekatan administratif terhadap masalah biologis dan moral yang jauh lebih kompleks dari sekadar formulir pulang kampung. Surat itu bukan jaminan mereka tak akan kembali, hanya semacam catatan kecil bahwa negara ini masih belum tahu cara tegas menghadapi kejar tayang antara hasrat dan etika.
Ketika berita ini mencuat, Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Cak Imin, langsung refleks: "Waduh, gawat, gawat, gawat." Kalimat yang lebih mirip ekspresi orang tua saat tahu anaknya dapat rapor merah, padahal tiap hari katanya belajar daring.
Reaksinya wajar. Karena kita memang terbiasa kaget, meskipun tahu semua ini sudah berlangsung lama. Di negeri ini, masalah moral baru dianggap genting ketika masuk berita utama. Sebelumnya? Dibiarkan berkembang seperti rumput liar di pinggir proyek tol.
Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, jauh lebih tanggap. Beberapa bulan lalu, ia menutup sepuluh warung yang diduga menjadi titik praktik prostitusi terselubung. Tapi apa cukup? Tentu tidak.
Sebab yang harus ditertibkan bukan hanya warungnya, tapi pola pikir masyarakat yang masih menganggap pelampiasan seksual sebagai kebutuhan pokok yang bisa diakali di tengah pembangunan nasional. Jalan tol dibangun agar distribusi barang dan jasa lancar, bukan agar nafsu bisa lebih cepat sampai ke ranjang.