Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Idul Adha Dari Seorang Kristen: Ketika Umat Dikurbankan Demi Anak, Eh Kebalik

6 Juni 2025   12:07 Diperbarui: 6 Juni 2025   12:07 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The sacrifice of Isaac (Caravaggio)

Selamat Idul Adha kepada seluruh saudara Muslim di Indonesia. Hari besar ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi pengingat abadi tentang sebuah ketundukan radikal terhadap kehendak Tuhan. Saya menulis ini sebagai seorang Kristiani---bukan untuk menyamakan iman, tetapi untuk menyatakan penghormatan saya sebaga sebagai sesamai warga negara Indonesia.

Kristen menyebutnya Abraham, Islam menyebutnya Ibrahim. Perbedaan nama itu bukan hal yang mau saya perdebatkan. Dalam Kitab yang saya imani, saya meyakini jalan keselamatan yang berbeda dan sangat mendasar dari Islam. Namun di balik semua itu, ada common ground atau point of contact yang menembus batas agama: ketaatan kepada Tuhan menuntut pengurbanan sejati, bukan manipulasi berkedok religius. Ya anggap saja sebagai "a cup of coffee that connects me to you."

Itulah yang menjadikan kisah Ibrahim tetap relevan hari ini---bukan karena kita harus menyamakan setiap detail teologisnya, tapi karena keberanian beliau untuk tidak menjadikan anaknya sebagai alasan membatalkan panggilan Tuhan. Ibrahim tidak mencurangi takdir demi garis keturunannya. Ia tidak menyelipkan agenda keluarga ke dalam rencana ilahi. Ia justru bersedia melepaskan anak yang paling ia cintai, demi umat, demi amanat yang lebih besar.

Namun lihatlah Indonesia hari ini. Kita hidup di zaman di mana logika itu dibalik total. Demi anak, aturan diutak-atik. Demi menjaga garis keluarga, hukum dibengkokkan. Pengurbanan yang sejatinya ditujukan kepada Tuhan dan umat, kini dijadikan alat demi mempertahankan dinasti politik. Konon demi rakyat, tapi yang sebenarnya dikurbankan justru rakyat itu sendiri. Coba lihat saja Raja Ampat dan berbagai daerah yang semestinya menjadi sumber oksigen dan hutan, malah dibabat.

Yang diikat di altar bukan lagi anak, melainkan kejujuran, keadilan, dan integritas bangsa ini.

Dan yang lebih mengerikan: semua itu dibungkus dalam narasi pembangunan. Seolah-olah langit mengizinkan kebengkokan, seolah-olah rakyat rela asal yang duduk tetap 'orang kita'. Padahal yang terjadi bukan pengurbanan, melainkan transaksi politik murahan. Bukan ketaatan pada Tuhan, melainkan persekongkolan demi kepentingan keluarga.

Saya tidak sedang berkhotbah dari mimbar Kristen kepada umat Muslim. Saya tidak sedang menjadi penghibur sialan. Iman saya menyatakan bahwa keselamatan adalah anugerah melalui Kristus, dan itu tidak saya samakan dengan iman lain. Tapi saya juga percaya bahwa Tuhan yang hidup bisa membuat pesan kebenaran menyala di hati siapa pun---Muslim, Kristen, atau siapa saja yang masih merupakan ciptaan tertinggi Tuhan.

Dan dalam kisah ini, saya melihat gema itu---tentang apa artinya menyerahkan, bukan menguasai; melepaskan, bukan mengekalkan; berkurban untuk yang lebih besar, bukan mengurbankan yang besar untuk kepentingan kecil.

Di sinilah kisah Ibrahim menjadi ujian bagi kita semua. Bukan hanya bagi Muslim, tetapi bagi siapa saja yang mengaku beriman dan berintegritas. Apakah kita punya keberanian untuk tunduk pada kebenaran, atau hanya keberanian untuk memutarbalikkan kebenaran demi anak sendiri? Apakah kita rela mengurbankan ego demi bangsa, atau justru mengurbankan bangsa demi ego keluarga?

Selamat Idul Adha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun