Bayangkan saja: seorang pria baru saja menghentikan motornya, deru mesin baru meredup, standar belum sempat menyentuh aspal, tiba-tiba---cling!---sosok dengan rompi lusuh dan peluit maha dahsyat muncul bagai hantu ekonomi, mengulurkan tangan dengan wajah tanpa ekspresi.
"Bang, parkirnya dua ribu." Sejenak hening. Batin saya bergejolak: Ini bukan lagi pelayanan parkir, ini adalah jump scare versi finansial yang menikam dompet tanpa aba-aba. Tetapi, tunggu dulu. Narasi ini bukan tentang pertarungan ideologis atau polemik keadilan sosial menurut perspektif tukang parkir tanpa identitas. Ini adalah kisah tentang fenomena keajaiban sipil, tentang ekosistem sosial mikro yang berhasil hidup harmonis dan tertata---tanpa eksistensi jukir liar.
Dan yang mengejutkan, bukan berlokasi di negeri Skandinavia yang tersohor. Bukan pula di Singapura yang ultra-disiplin. Melainkan tepat di kompleks hunian saya sendiri, di tanah Indonesia yang katanya selalu amburadul.
Perkenankan saya membagikan pengalaman empiris yang memukau. Di dalam perumahan tempat saya bernaung, yang terbilang cukup luas, berdiri dengan megahnya dua gedung Indomaret dan tiga bangunan Alfamart. Yang mencengangkan, tak ada satu pun dari kelima mercusuar ekonomi rakyat tersebut yang dikerubungi oleh praktik perparkiran ilegal.
Tak hanya di gerai ritel modern tersebut, namun seluruh usaha kecil yang bertebaran di sekitar kompleks saya tampak begitu berdenyut, membara dengan vitalitas konsumen yang tak henti berdatangan. Bahkan beberapa entitas bisnis berani membuka layanan non-stop 24 jam, bernaung dalam rasa aman yang solid. Petugas keamanan memang hadir, rutin melakukan patroli penuh kewaspadaan.
Namun yang menjadi kunci, parkir liar---nihil eksistensinya. Kendaraan roda dua dan empat bebas berhenti, tertata rapi. Tiada sosok yang mengatur dengan paksa. Hanya ada petugas keamanan yang berjaga dengan profesional. Pengalaman saya memarkirkan kendaraan selalu nyaman tanpa tekanan. Warga yang berdatangan dengan jumlah signifikan pun tak ragu untuk mengunjungi area tersebut.
Tak mengherankan jika kemudian muncul adagium yang menohok: "Uang 2000 memang tak cukup membuat kantong kita kosong untuk jukir ilegal, tetapi nominal yang sama sanggup mengubur satu toko dalam kubangan kebangkrutan lantaran banyaknya pelanggan yang mengurungkan niat membeli setelah melihat sosok jukir absurd tersebut."
Ternyata begitu kolosal dampaknya ketika praktik parkir liar dieliminasi. Esensinya jelas: singkirkan parkir liar, dan ekonomi akan tumbuh alami. Seharusnya pemerintah mampu menciptakan program revolusioner penghapusan jukir ilegal secara sistematis. Fenomena ini justru memperparah kondisi perekonomian Indonesia yang sudah terpuruk, menjadikannya kian terperosok dalam jurang keterpurukan.
Lihatlah dengan seksama bagaimana sebuah kawasan mini yang dikelola dengan bijaksana---tanpa intimidasi peluit, tanpa ancaman terselubung, tanpa pungutan haram---mampu menumbuhkembangkan ekosistem bisnis yang subur dan berkelanjutan. Ini bukan sekadar persoalan keamanan kendaraan bermotor semata.
Ini adalah manifestasi dari trust, tentang ketenangan jiwa ketika hendak membeli sebungkus roti gandum tanpa dihantui kecemasan harus mengeluarkan keping receh sambil beradu tatap dengan ekspresi asing yang sedang menanti "upeti" layaknya raja kecil di zaman feodal.