Sebagai seorang laki-laki, saya tidak menganut feminisme radikal yang berusaha menghapus semua perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Saya meyakini kesetaraan gender dalam konteks biblical yang mencerahkan---sebuah kesetaraan yang tetap mengakui perbedaan peran yang saling melengkapi antara kedua gender dalam kehidupan manusia.Â
Kedua gender ini sama-sama utuh, berharga, dan bermartabat; tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam hierarki ciptaan. Yang saya tentang dengan keras adalah pandangan patriarki ekstrem yang merendahkan dan menindas, bukan perbedaan peran yang ditetapkan dengan penuh kasih oleh Sang Pencipta.
Dulu, sebelum Yesus menampakkan diri---awalnya kepada para perempuan---banyak sekali pemikir dan intelektual kolosal di zaman itu yang dengan congkak meletakkan perempuan sebagai produk gagal dari ciptaan laki-laki.Â
Bukan sekadar satu atau dua orang, bahkan dua nama gemilang dalam sejarah pemikiran manusia---Aristoteles, sang cendekiawan agung Yunani, dan Galen, maestro anatomi dari Roma---dengan lancar dan penuh arogansi mengutarakan bahwa perempuan hanyalah potret tidak sempurna dari laki-laki. Bayangkan saja, dalam dunia yang mengklaim dirinya rasional ini, mereka dengan bengisnya menyatakan bahwa perempuan adalah "cacat produksi," makhluk kelas dua, ciptaan yang belum rampung pengerjaannya.Â
Kesombongan intelektual macam apa yang berani menghakimi demikian rupa terhadap karya tangan Tuhan yang begitu indah? Perasaan getir dan kepedihan yang mendalam terasa saat merenungkan berabad-abad lamanya pandangan ini menguasai pemikiran manusia, membelenggu setengah umat manusia dalam rantai ketidakadilan yang begitu menyakitkan.
Namun Paskah, momentum paling monumental dan transformatif dalam sejarah iman dan eksistensi umat manusia, menghempaskan seluruh konstruksi patriarkal yang selama berabad-abad mencengkeram dan mendominasi ruang pikir serta ruang publik.Â
Calvin sendiri mengakui makna mendalam dari pilihan ilahi ini, ketika ia menulis bahwa "kemuliaan Allah sering tampak dalam kelemahan," menegaskan bahwa pemilihan perempuan sebagai saksi pertama kebangkitan bukanlah kebetulan, melainkan rancangan Allah yang sempurna untuk menyingkapkan kebenaran tentang kesetaraan dalam ciptaan-Nya.Â
The game changer ini terjadi ketika Yesus memilih untuk tidak menampakkan diri pertama kali kepada Petrus atau Yohanes, bukan kepada tokoh agama terkemuka atau para pejabat Yahudi berpengaruh, melainkan kepada para perempuan---kepada mereka yang selama ini diremehkan, dicemooh di belakang, dan direndahkan secara terang-terangan. Betapa pilihan ini mengandung kesedihan mendalam sekaligus keindahan yang memukau---sebuah tantangan langsung kepada mereka yang telah secara sistematis menolak mengakui nilai hakiki dari perempuan.
Konsep toxic dari patriarki nyatanya bukan hanya mewabah di dunia luar, tetapi juga menjangkiti lingkar dalam Yesus sendiri. Para murid-Nya, yang seharusnya memahami esensi kasih dan kebenaran, justru mencemooh dan menertawakan kesaksian perempuan yang menyampaikan bahwa Tuhan telah bangkit.Â
Lukas mencatatnya dengan sangat gamblang---Maria, Maria Magdalena, dan para perempuan lainnya datang dengan berlinang air mata dan membawa secercah harapan, namun ditanggapi dengan sikap yang dingin dan penuh sinisme: omong kosong belaka. Sungguh ironis dan menyesakkan bahwa para pemberita pertama kabar sukacita terbesar dalam sejarah manusia justru dihadapkan pada tembok ketidakpercayaan yang begitu tinggi.Â