Saya jawab iya, nah kakak saya akhirnya menjawab bahwa alasan ia enggan datang ke hajatan para tetangga adalah karena seringkali ia melihat bekas-bekas bibir yang ada di gelas yang disuguhkan di hampir setiap acara hajatan.
Kejadian itu tidak hanya ia alami sekali atau dua kali tapi seringkali, pernah ia secara tidak sengaja melongok ke dapur si empunya hajatan. Ia melihat bahwa gelas-gelas teh hangat yang sudah disuguhkan, tidak dicuci melainkan langsung diisi dengan teh hangat dan kemudian disuguhkan lagi kepada para tamu undangan lagi.
Terus terang saja, saya yang telah diberitahu mengenai hal itu oleh kakak saya jadi kaget dan timbul rasa agak jijik. Heran juga mengapa si empunya hajatan seringkali jarang mencuci gelasnya setelah dipakai oleh tamu lain, mungkin untuk menghemat waktu, karena pada saat hajatan tamu yang datang banyak.
Sedangkan gelas yang dimiliki oleh si empunya hajatan terbatas jadi mereka tidak mencucinya dahulu melainkan mengisi ulang dan menyuguhkan ke tamu lainnya.
Semenjak kejadian itu saya dan ibu saya jarang sekali mencicipi suguhan teh bila ada hajatan di kampung kami. Paling-paling kami pura-pura minum kalau diminta mencicipi teh suguhan pemilik hajatan, dan akibatnya kami makan suguhannya dengan pelan-pelan agar tidak tersedak atau keseretan. Akhirnya setiap kali kami menghadiri hajatan, kami seringkali cepat-cepat pulang, dan berhati-hati ketika disuguhi minuman.
Setelah berpuluh-puluh tahun saya pindah dari desa kampung halaman, saya pun bertanya-tanya apakah kebiasaan jorok ini masih dilakukan oleh penduduk disana? Hmmm.. siapa tahu? Mungkin saya perlu sesekali menghadiri lagi hajatan yang ada disana, untuk mengetahui hal itu. (hpx)