Mohon tunggu...
HL Sugiarto
HL Sugiarto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk dibaca dan membaca untuk menulis

Hanya orang biasa yang ingin menulis dan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bekas-bekas Bibir di Gelas Pesta Pernikahan

16 Januari 2020   09:20 Diperbarui: 16 Januari 2020   12:56 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh https://pixabay.com/id/users/jeanborges-6357

Dung.. dang...dung...dang...dut! Kira-kira begitulah suara irama lagu dangdut bila digambarkan dalam bentuk kata-kata. Hampir setiap pesta pernikahan di desa saya, lagu-lagu dangdut sudah menjadi menu wajib untuk menghibur para tamu undangan.

Nada keras suara lagu-lagu tersebut yang diputar menggunakan sound system murah meriah , berfungsi sebagai salah satu penanda tempat pesta pernikahan.

Suara kerasnya hampir terdengar dari jarak 200-300 meter sehingga menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Begitulah kira-kira pengalaman masa kecil saya sekitar tahun 1980-an, ketika melihat ada hajatan nikah di daerah saya, yang disebut wilayah tapal kuda, meliputi Pasuruan, Probolinggo sampai daerah Banyuwangi dan sekitarnya.

 Selain itu ada beberapa hal menarik dari kebiasaan melakukan hajat pernikahan tersebut, seperti adanya aturan tidak tertulis yang sudah disepakati penduduk setempat dan kebiasaan-kebiasaan yang jorok yang menjadi catatan kelam agar berhati-hati ketika hadir dalam hajatan pernikahan di desa saya.

Aturan tidak tertulis

Dalam setiap acara pernikahan yang ada di kampung halaman saya ada beberapa aturan tidak tertulis yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sana salah satunya yaitu 'wajib' hadir bagi para tetangga yang tinggal dekat acara resepsi pernikahan.

Sudah menjadi kebiasaan untuk hadir dalam resepsi pernikahan tetangga dekat, apabila tidak hadir maka hal itu akan menjadi pergunjingan dan menjadi bahan pembicaraan penduduk setempat setelah acara hajatan nikah selesai.

Kemudian aturan yang lainnya adalah tradisi 'bowoan' , yaitu berupa uang yang dimasukkan dalam amplop dan diserahkan si tuan rumah yang mempunyai hajatan.

Biasanya bowoan ini diserahkan ketika sang tamu akan pulang, uniknya uang yang telah diserahkan akan dicatat atau diingat oleh si empunya hajatan, apabila dikemudian hari si tamu tersebut mempunyai hajatan maka akan dibalas dengan jumlah bowoan yang sama.

Kebiasaan jorok 

Pernah suatu ketika, saya dan ibu saya menghadiri salah satu pernikahan tetangga yang berada di kampung sebelah. Hajatan di kampung kami berbeda dengan hajatan yang ada di kota, di kampung kami,  kehadiran ke suatu hajatan tidak ditentukan jamnya yang penting datang pada hari H nya dan biasanya seusai sholat Maghrib. Mereka bisanya menggelar tenda yang dilengkapi sound system dengan menyetel lagu-lagu dangdut atau lagu-lagu grup musik kasidah.

Seperti layaknya acara hajatan seperti biasanya, setelah datang  dan duduk, tak lama kemudian kami disuguhi makanan berupa sepiring nasi kare ayam atau jenis makanan berkuah lainnya dan segelas teh panas.

“Datang sama siapa bu?” tanya bapak empunya hajatan dan menyalami ibu saya.

“Ini dengan anak saya,” jawab ibu sambil menoleh ke arah samping kiri.

“Oh..! Inggih, monggo, silakan!” kata si empunya hajatan sambil mengambil dua piring nasi kare ayam dan dua gelas teh panas dari baki yang dibawa oleh seorang gadis muda yang mengikutinya.

“Terima kasih!” jawab ibu saya dan menaruh piring dan gelas tersebut di meja kecil depan kami duduk.

Pada saat suguhan telah disajikan, ada suatu hal yang menarik perhatian saya saat itu, terlihat bekas bibir yang melekat di gelas-gelas yang disuguhkan kepada saya dan ibu saya.

Maklum saat itu adalah kali pertama saya diajak untuk menghadiri hajatan oleh ibu saya, jadi tidak ada rasa curiga akan bekas bibir yang ada di gelas itu, biasanya yang diajak untuk hadir di hajatan kampung adalah kakak saya. Entah kenapa kakak saya saat itu enggan untuk ikut hajatan ketika diajak oleh ibu saya, jadi sayalah yang menjadi pengganti posisi kakak saya.

Pada saat sampai di rumah setelah usai menghadiri acara hajatan itu, kakak saya sempat bertanya apakah saya melihat bekas bibir yang ada di gelas yang disuguhkan.

“Lu, tadi disuguhi teh ya?”

“Lihat nggak ada bekas bibir di gelas yang diminum lu?” tanya kakak saya dengan penuh penasaran.

Saya jawab iya, nah kakak saya akhirnya menjawab bahwa alasan ia enggan datang ke hajatan para tetangga adalah karena seringkali ia melihat bekas-bekas bibir yang ada di gelas yang disuguhkan di hampir setiap acara hajatan.

Kejadian itu tidak hanya ia alami sekali atau dua kali tapi seringkali, pernah ia secara tidak sengaja melongok ke dapur si empunya hajatan. Ia melihat bahwa gelas-gelas teh hangat yang sudah disuguhkan, tidak dicuci melainkan langsung diisi dengan teh hangat dan kemudian disuguhkan lagi kepada para tamu undangan lagi.

Terus terang saja, saya yang telah diberitahu mengenai hal itu oleh kakak saya jadi kaget dan timbul rasa agak jijik. Heran juga mengapa si empunya hajatan seringkali jarang mencuci gelasnya setelah dipakai oleh tamu lain, mungkin untuk menghemat waktu, karena pada saat hajatan tamu yang datang banyak.

Sedangkan gelas yang dimiliki oleh si empunya hajatan terbatas jadi mereka tidak mencucinya dahulu melainkan mengisi ulang dan menyuguhkan ke tamu lainnya.

Semenjak kejadian itu saya dan ibu saya jarang sekali mencicipi suguhan teh bila ada hajatan di kampung kami. Paling-paling kami pura-pura minum kalau diminta mencicipi teh suguhan pemilik hajatan, dan akibatnya kami makan suguhannya dengan pelan-pelan agar tidak tersedak atau keseretan. Akhirnya setiap kali kami menghadiri hajatan, kami seringkali cepat-cepat pulang, dan berhati-hati ketika disuguhi minuman.

Setelah berpuluh-puluh tahun saya pindah dari desa kampung halaman, saya pun bertanya-tanya apakah kebiasaan jorok ini masih dilakukan oleh penduduk disana? Hmmm.. siapa tahu? Mungkin saya perlu sesekali menghadiri lagi hajatan yang ada disana, untuk mengetahui hal itu. (hpx)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun