Pernyataan Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Fraksi Partai NasDem, baru-baru ini mengundang kegaduhan publik. Ia menyebut bahwa seruan untuk "membubarkan DPR" berasal dari "mental orang tertolol sedunia". Ucapan ini, yang disampaikan secara terbuka kepada media, bukan hanya merendahkan suara rakyat, tetapi juga menunjukkan cara pandang yang antidemokratis dari seorang pejabat publik.
Seorang wakil rakyat yang benar-benar memahami esensi demokrasi seharusnya menyambut kritik sebagai bentuk partisipasi politik warga negara. Menyematkan label peyoratif kepada pihak yang menyuarakan kekecewaan terhadap DPR sama saja dengan menutup ruang evaluasi terhadap lembaga perwakilan. Lebih ironis lagi, kritik tersebut lahir bukan tanpa sebab. Kepercayaan publik terhadap DPR selama ini memang berada pada titik yang memprihatinkan---dalam banyak survei nasional, DPR kerap berada di peringkat bawah dalam hal integritas dan kepuasan publik.
Terlebih lagi, di tengah kondisi banyaknya guru honorer di Papua dan daerah lainnya yang belum menerima gaji hingga tujuh bulan lamanya, pada hal penghasilan mereka per bulan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi, apalagi menghidupi keluarga---keprihatinan publik semakin mendalam. Bagaimana tidak, gaji yang hanya diterima hanya kisaran lima ratus ribu rupiah per bulan, dan itupun baru cair setelah menunggu tujuh hingga delapan bulan.
Ironisnya, di tengah jeritan para guru honorer ini, DPR justru mendapat kenaikan tunjangan tempat tinggal sebesar 50 juta rupiah. Keputusan tersebut sontak memicu kemarahan publik. Ketika rakyat berusaha menyuarakan kegelisahannya, alih-alih didengar, mereka justru mendapat cercaan dan olokan yang tak pantas dari seorang pejabat negara.
Kontroversi Lama dan Nalar Feodal
Pernyataan Ahmad Sahroni bukan insiden tunggal. Sebelumnya, ia juga menuai kritik saat menyatakan bahwa "Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu berkoordinasi dengan pimpinan partai sebelum melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT)". Pandangan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum dan independensi lembaga penegak hukum.
Bayangkan jika KPK, dalam menangani dugaan korupsi, harus terlebih dahulu "izin" kepada partai politik. Bukankah hal itu sama saja dengan membuka ruang intervensi politik dalam proses hukum? Ini adalah bentuk regresi demokrasi yang membahayakan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pandangan semacam ini menunjukkan mentalitas feodal yang masih melekat di sebagian pejabat publik---menempatkan partai dan elite sebagai entitas yang harus dihormati secara mutlak, bahkan oleh hukum. Dalam kerangka negara hukum yang demokratis, tidak ada individu atau kelompok yang kebal dari jeratan hukum.Â
Wajah Ironi di Hari Kemerdekaan
Kritik terhadap DPR dan elite politik semakin menguat saat publik menyaksikan momen memilukan dalam perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, 17 Agustus 2025 lalu, di Gowa, Sulawesi Selatan. Di tengah perayaan upacara kenegaraan yang dihadiri para pejabat negara, seorang anak kecil terekam memungut sisa-sisa makanan ringan dari kolong kursi undangan. Potret tersebut viral di media sosial dan menjadi simbol ketimpangan sosial yang masih sangat nyata.
Sangat menyakitkan menyaksikan kemerdekaan diperingati dengan kemewahan di satu sisi, sementara di sisi lain, rakyat kecil masih berjibaku untuk sekadar mengisi perut. Ketika makanan sisa dari para pejabat dibuang begitu saja, dan anak-anak harus memungutnya, kita patut bertanya: merdeka untuk siapa?