Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Suka membaca dan mengobrolkan apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradoks Natal

30 Desember 2023   23:18 Diperbarui: 30 Desember 2023   23:18 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah terlalu sering Natal dihubungkan dengan kelahiran Juru Selamat. Tapi apa artinya?
Sudah terlampau biasa Natal diletakan dalam konteks teologi dogmatik dan kontekstual, tetapi apa signifikansinya?


Memikirkan dua pertanyaan di atas akan membantu kita merumuskan Natal bukan sekadar “pulang melalui jalan lain” sebagai bentuk lari dari tanggung jawab dan risiko. Jika Anda benar-benar para majus, harusnya berani mengambil risiko menghadap Herodes, bahkan bila perlu menggalang pasukan sebelum bertemu.


Lalu ke mana para majus itu menghilang dan mengapa mereka tidak muncul kembali dalam narasi injil? Apakah ini karena intervensi abad pencerahan yang memisahkan agama dan negara termasuk ke dalam otoritas gereja menyeleksi teks kitab suci yang dianggap relevan? Disebut demikian karena pesan paling gamblang dari Natal adalah ini: taking risk, mengambil risiko. Tidak ada yang lain.

Berbeda dari sosiologi risiko versi Beck dan Giddens yang percaya bahwa masyarakat risiko lahir dari penetrasi modernitas, risiko dalam Natal merupakan konsekuensi langsung dari keputusan yang kita buat. Jika Anda mencintai, Anda harus siap menghadapi risiko terluka. Jika Anda memutuskan menikah, Anda juga harus siap menanggung risiko yang timbul dari keputusan itu. Jika Anda bersiap kuliah, Anda harus berani menghadapi risiko karena bergulat dengan pengetahuan—mirip Adam dan Hawa yang berani ambil risiko karena “mengetahui”.


Tidak ada jalan tengah untuk hal ini.


Untuk sampai pada cara pandang di atas, butuh penjungkirbalikan nilai, pembongkaran nilai-nilai yang dibuat mapan pada masa ini (Itulah mengapa Nietzsche menyukai Tuhan yang tahu menari, mengentakkan kakinya di lantai dansa). Mari kita periksa satu per satu.


𝐏𝐞𝐦𝐛𝐨𝐧𝐠𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐒𝐭𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫 𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢


Pertama, secara arkeologis, dari dulu kandang tempat lahir Yesus  memang seperti itu modelnya. Beda dengan kandang kontemporer yang kita desain di dalam gedung (gereja), dengan segala pernak-pernik—terlepas dari seluhur apa pun inisiatif kita. Tapi bukan di situ soalnya.


Masalah muncul ketika kita menyematkan dimensi kehinaan dan kesengsaraan pada kandang, seolah-olah Yesus memang lahir di tempat yang hina. Jika demikian, mari kita bolak-balik perikop kitab suci dan coba temukan, di bagian mana penginjil menulis bahwa lahir di kandang itu menggambarkan kesengsaraan? Namun jika tidak ada, lalu mengapa sampai ada kesan dalam benak kita bahwa kandang identik dengan kesengsaraan?


Kedua, pengalaman ditolak yang dialami Yosef dan Maria bukan berarti mau menunjukkan bahwa Yesus lahir di kandang karena sebelumnya ditolak oleh orang-orang jahat yang tidak mau membuka pintu rumahnya. Ilustrasi injil itu mau menunjukkan bahwa pintu bukan hanya ada di rumah.


Perjalanan dari satu rumah ke rumah yang lain adalah pintu menuju kandang; perjalanan dan pengalaman itu sendiri adalah pintu. Tertutupnya pintu yang satu selalu berarti membuka kemungkinan menemukan pintu terbuka yang lain, asalkan kita mau setia mencari dan mengetuk.


Ketiga, masih berhubungan dengan poin kedua, Natal mesti mereformulasi ulang pastoral keluarga kita, bahwa membangun sebuah keluarga selalu berhubungan dengan dua hal ini: bagaimana membuat keputusan dan bagaimana menghadapi risiko dari keputusan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun