Mohon tunggu...
AKM artificial intelligence
AKM artificial intelligence Mohon Tunggu... Akademisi, IAIN Ambon

Hobi mengikuti perkembangan sosial media, saya senang berbicara dan aksi nyata, sosial, dan hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Putusan Hakim : Napas keadilan yang tak pernah hidup di luar Ruang sidang

19 Oktober 2025   06:40 Diperbarui: 19 Oktober 2025   06:40 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Putusan Hakim: Napas Keadilan yang Tak Pernah Hidup di Luar Ruang Sidang

Sebuah paradoks yang menggantung di ruang publik sering kali meresahkan. Kita mendengar tentang hukum yang berlaku di mana-mana, di jalanan, di lingkungan bisnis, bahkan di antara tetangga. Namun, bagaimana dengan keadilan? Apakah ia memiliki daya hidup yang sama, ataukah ia hanya dapat bernapas di dalam ruang-ruang yang terhormat, di mana palu hakim menjadi detak jantungnya? Opini ini berangkat dari tesis yang kuat dan provokatif: bahwa meskipun hukum mungkin dapat bertahan di luar pengadilan, keadilan tidak akan pernah bisa. Keadilan, dalam esensinya yang paling murni, adalah hasil dari putusan hukum yang mengikat, dan hal-hal yang diselesaikan atas nama hukum tetapi tidak diputuskan secara resmi tidak dapat dilindungi oleh negara. Putusan hakim, dalam kerangka ini, dipandang sebagai hukum yang tertinggi, sebuah pernyataan otoritatif yang menjadi satu-satunya cara bagi keadilan untuk bermanifestasi dan mendapatkan perlindungan negara.   

Tesis ini lebih dari sekadar pernyataan faktual; ia merupakan sebuah pengakuan filosofis akan supremasi kekuasaan yudikatif dalam mewujudkan esensi sebuah negara hukum. Mengapa sebuah klaim yang begitu kuat---bahwa keadilan adalah monopoli pengadilan---menjadi fondasi yang penting bagi stabilitas sosial dan kepercayaan publik? Alasannya adalah bahwa hukum yang tidak ditegakkan ibarat tubuh tanpa jiwa. Ia mungkin ada dalam bentuk peraturan tertulis, tetapi ia tidak memiliki kekuatan, daya hidup, atau kemampuan untuk melindungi warga negara secara efektif. Putusan hakim adalah momen di mana hukum diaktifkan, diberikan kekuatan, dan diterjemahkan dari norma abstrak menjadi realitas yang mengikat dan berlaku. Proses inilah yang membedakannya dari sekadar kesepakatan informal dan menjadikannya manifestasi tertinggi dari keadilan.

Menelaah Batasan: Antara Hukum sebagai Kerangka dan Keadilan sebagai Jiwa

Untuk memahami mengapa putusan pengadilan adalah satu-satunya jalan menuju keadilan, penting untuk terlebih dahulu membongkar perbedaan fundamental antara hukum dan keadilan. Keduanya sering kali digunakan secara bergantian, padahal mereka memiliki fungsi dan hakikat yang berbeda. Hukum adalah seperangkat aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang untuk mengatur perilaku masyarakat dan berfungsi untuk menciptakan ketertiban. Hukum adalah kerangka struktural; ia menyediakan norma-norma dan prosedur-prosedur yang mendefinisikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Namun, sebuah kerangka, seberapa pun kokohnya, tetap tidak berguna tanpa substansi yang mengisi dan membuatnya hidup.   

Keadilan, di sisi lain, adalah prinsip moral yang menuntut perlakuan yang sama terhadap semua individu dan memberikan hak serta kewajiban yang sesuai. Keadilan bukanlah sekadar aturan, melainkan sebuah nilai, sebuah ideal yang harus dicapai. Inilah paradoksnya: hukum yang hanya ada di atas kertas, tanpa diimplementasikan melalui proses peradilan, menjadi tidak efektif. Ketidakefektifan ini bukan hanya sekadar kegagalan operasional, tetapi sebuah kegagalan sistemik yang menghancurkan tatanan sosial yang seharusnya dibangun oleh hukum. Tanpa mekanisme penegakan yang kredibel dan formal, hukum yang tidak ditegakkan akan menciptakan ketidakpastian dan inkonsistensi. Ketidakpastian ini merusak kepercayaan bahwa hukum dapat berfungsi sebagai alat yang adil, dan pada akhirnya, hal ini membuka pintu bagi penafsiran sepihak dan penggunaan kekuatan oleh pihak yang lebih dominan. Dalam kondisi seperti itu, hukum yang seharusnya menjadi sumber ketertiban justru dapat berubah menjadi sumber ketidakadilan baru.   

Hubungan antara hukum dan keadilan tidak bersifat kausal secara otomatis. Hukum (seperangkat aturan) adalah prasyarat potensial bagi keadilan (hasil moral), tetapi proses peradilan adalah katalis yang mengubah potensi tersebut menjadi sebuah realitas yang dapat dirasakan. Tanpa katalis ini, hukum dan keadilan akan tetap terpisah, satu sebagai norma ideal dan satu lagi sebagai hasil yang mustahil untuk dicapai. Kesenjangan antara "hukum tertulis" (law in the books) dan "keadilan yang dirasakan" (felt justice) adalah jantung dari semua masalah yang dihadapi oleh sistem peradilan.

Pengadilan sebagai Panggung Utama Keadilan: Manifestasi Kekuasaan Yudikatif

Jika keadilan adalah jiwa, maka proses peradilan adalah tubuh yang menampungnya. Proses peradilan adalah mekanisme yang sah di mana hukum diterapkan dan ditegakkan. Di atas panggung ini, hakim memiliki peran tunggal sebagai "penentu keadilan". Putusan hakim bukan sekadar kesimpulan prosedural, melainkan produk dari pertimbangan yang mendalam dan analisis terhadap fakta-fakta yang ada. Setiap putusan harus merefleksikan nilai-nilai keadilan yang diharapkan oleh masyarakat, menjadikannya manifestasi nyata dari keadilan itu sendiri.   

Putusan hakim juga sering disebut sebagai "hukum yang tertinggi". Sebutan ini bukan sekadar istilah hiperbolis, melainkan sebuah pengakuan terhadap kekuasaan yang unik. Hukum legislatif, seperti undang-undang, bersifat umum dan berlaku untuk semua orang. Sebaliknya, putusan hakim bersifat spesifik, mengikat, dan berlaku secara personal pada pihak-pihak yang bersengketa. Ini adalah transisi krusial dari hukum yang bersifat normatif menjadi hukum yang bersifat aplikatif, dari hukum dalam buku menjadi hukum dalam aksi. Kredibilitas putusan hakim berkorelasi langsung dengan kepercayaan publik. Ketika masyarakat menyaksikan bahwa putusan pengadilan adalah hasil dari pertimbangan yang jujur dan adil, mereka akan lebih menghormati hukum itu sendiri. Sebaliknya, setiap putusan yang dianggap cacat, tidak transparan, atau tidak adil memiliki potensi untuk meruntuhkan fondasi kepercayaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan kerentanan sistemik yang serius.   

Dengan demikian, pengadilan adalah satu-satunya arena di mana hukum dan fakta berinteraksi dalam sebuah proses yang terstruktur dan terjamin. Hakim, melalui putusannya, bertindak sebagai penengah yang memiliki kekuasaan untuk mengubah fakta dan hukum menjadi sebuah keputusan yang memiliki bobot dan otoritas negara. Putusan ini adalah produk akhir yang mengikat dan dapat dieksekusi, membedakannya dari setiap bentuk resolusi lainnya dan menjadikannya manifestasi tertinggi dari keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun