Mohon tunggu...
HANNA SAJADIAH
HANNA SAJADIAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa yang biasa-biasa saja.

Senang berpetualang di alam bebas atau berselancar melalui kata-kata dalam setiap lembaran buku yang saya baca.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fujinkai dan Jugun Ianfu: Perempuan Dalam Dua Sisi "Koin" Milik Jepang

30 Juni 2023   23:00 Diperbarui: 8 Juli 2023   00:13 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagai bagian dari kekuatan rakyat, perempuan merupakan bagian dari elemen masyarakat dengan peranan yang lebih dari sekadar juru penghilang lapar serta penawar nafsu. Di masa kini, suara perempuan memiliki peranan yang jauh lebih besar daripada juru ahli di dapur dan kasur. 

Perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan seorang politisi di arena pemilu. Keterwakilan perempuan dalam kancah perpolitikan Indonesia di masa kini bahkan memiliki perhitungan pasti yang harus dipenuhi oleh seorang calon anggota dewan di level daerah dan nasional dengan besaran yang tampak mentereng, 30%. 

Angka tersebut merupakan angka terendah yang harus dicapai seorang calon anggota dewan, sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang  Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Suara perempuan bisa dikatakan mampu menggerakkan suara rakyat juga. Tak sedikit buruh perempuan terlihat di demonstrasi setiap tanggal 1 Mei. Tak sedikit juga aktivis perempuan yang suaranya sangat lantang hingga harus dibungkam seperti Marsinah. Suara perempuan yang berdikari memang baru terdengar gaungnya tak lama sebelum Indonesia merdeka. 

Beberapa pahlawan nasional perempuan di era pra-emansipasi lebih banyak berjuang bersama para suami atau meneruskan perjuangan suami mereka demi menjaga marwah daerah. Suara perempuan di masa kolonial dan perang melawan imperialisme memang lebih banyak diredam oleh tajuk “bersama sang suami” dan “meneruskan perjuangan sang suami”. Nama mereka bersinar bukan atas kaki-kaki mereka sendiri.

Meski penjajah berubah dan musuh telah berbeda, peran perempuan masih tak bisa jauh dari dapur dan kasur. “Lemah” dan “lembut” menjadi cap yang seolah lekat dengan perempuan di masa peperangan melawan penjajah. Apalagi dalam beberapa adat di Indonesia, letak perempuan di mata masyarakat berada di bawah laki-laki. Terbelenggu oleh adat, perempuan tak bisa menggeliatkan perjuangan dengan bebas dan lepas. Saat penjajah berganti dari Belanda dan orang-orang kulit putih menjadi orang Jepang yang merupakan “saudara tua” bangsa kita, emansipasi telah eksis di beberapa bagian Indonesia seperti Pulau Jawa.

Terima kasih pada R.A. Kartini dan “Habis Gelap Terbitlah Terang”-nya serta Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat yang memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan di awal abad ke-20 saat Politik Etis dengan lantang dikampanyekan oleh pihak kolonial, masa pendudukan setelahnya manpower Indonesia tak hanya diwarnai oleh laki-laki. Mata perempuan yang telah menyaksikan bahwa pendidikan dan pergerakan bukan hanya bagi laki-laki, seolah dimanjakan oleh bagaimana Jepang yang membengkokkan kekuasaan Belanda dengan propaganda hampir bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk perempuan di dalamnya.

Fujinkai merupakan sebuah badan bentukan Jepang yang mengakomodasi perempuan. Dibentuk dalam kurun waktu yang sama dengan PETA dan beberapa barisan militer lainnya oleh Dai Nippon, Fujinkai tidak hanya membiarkan perempuan berkarya di dapur demi kelancaran mereka dalam memenangkan Perang Asia-Pasifik. Jepang juga menggerakkan kekuatan yang ada di dalam barisan perempuan untuk menjadi bagian dari operasi militer mereka. 

Perempuan-perempuan di dalam Fujinkai diberikan pemahaman mengenai senjata dan teknik penggunaannya. Tak hanya itu, latihan baris berbaris yang diperuntukkan untuk menciptakan disiplin dalam tubuh seorang prajurit juga harus dilakoni oleh para perempuan yang tergabung dalam Fujinkai. Pengetahuan akan dunia medis juga diterangkan oleh Dai Nippon pada mereka.

Selayaknya organisasi militer bagi kaum laki-laki, Fujinkai juga memiliki susunan kepemimpinan yang jelas. Meski jenjang karir di dalam Fujinkai tidak seluas dan seinklusif dalam organisasi militer lain, pemimpin-pemimpin dalam Fujinkai yang dipilih berdasarkan kewilayahannya juga memiliki gelar. 

Mayor adalah gelar paling tinggi dalam Fujinkai. Keberadaan Fujinkai yang sifatnya memberdayakan perempuan di dalam berbagai sektor, tentu saja mampu mereduksi angka pengangguran di kalangan wanita pada saat itu karena perempuan-perempuan yang telah mencapai usia 15 tahun, dianjurkan untuk mengikuti Fujinkai demi membekali diri mereka dengan berbagai kemampuan yang tak hanya fungsional bagi keberlangsungan Nippon di medan perang tetapi juga bagi keberlangsungan kehidupan rumah tangga mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun