Mohon tunggu...
Hanis Ulfayanti
Hanis Ulfayanti Mohon Tunggu... Content Creator | Digital Marketing | Social Media Specialist | Public Relations | Customer Service

Saya adalah lulusan Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sunan Kudus. Saya sangat familiar dengan dunia content creator dan media sosial, serta memiliki pengalaman di bidang digital marketing dan customer service. Selain itu, saya juga aktif mengelola usaha sendiri sebagai owner, sehingga terbiasa mengembangkan kreativitas, manajemen, dan strategi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Masjid dan Gereja Bergandengan: Kisah Toleransi Sejati di Lereng Muria

2 Oktober 2025   16:35 Diperbarui: 2 Oktober 2025   17:04 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Masjid dan Gereja bersebelahan di Desa Tempur , Kec. Keling, Kab. Jepara (sumber: screens hoot akun TikTok  heyyy duls 23/6/2024)

Kudus, 2 Oktober 2021- Di tengah hiruk pikuk perbedaan yang kerap memicu perpecahan, sebuah desa kecil di lereng Gunung Muria, Jawa Tengah, menawarkan narasi indah tentang persatuan. Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, bukan hanya dikenal sebagai penghasil kopi unggul dan desa wisata, tetapi juga sebagai laboratorium hidup toleransi dan moderasi beragama yang patut dicontoh.

Di desa yang terletak di "segitiga emas" pertemuan tiga kabupaten (Jepara, Kudus, dan Pati) ini, kehidupan masyarakatnya didominasi oleh dua agama, mayoritas Islam dan minoritas Kristen. Keharmonisan di Desa Tempur telah teruji oleh waktu, dibuktikan dengan keberadaan dua rumah ibadah yang letaknya sangat berdekatan bahkan saling berhadapan hanya dipisahkan oleh sepetak jalan beton selebar lima meter. Rumah ibadah tersebut adalah Masjid Nurul Hikmah dan Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ).

Jalinan persaudaraan di Desa Tempur bukan sekadar basa-basi, melainkan terukir dalam sejarah pembangunan kedua tempat ibadah. Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ) berdiri lebih dulu, yakni pada tahun 1988. Kemudian, sekitar tahun 2003, warga bergotong royong membangun Masjid Nurul Hikmah tepat di depannya.

Hebatnya, saat proses pembangunan masjid, warga beragama Kristen turut serta dalam gotong royong, menyumbangkan tenaga dan materi. Demikian pula sebaliknya, ketika pembangunan gereja, warga Islam juga ikut membantu dengan tenaga dan materi. Kisah ini menjadi monumen nyata bahwa perbedaan iman tidak menghalangi mereka untuk saling dukung demi kelancaran acara keagamaan masing-masing.

Kekuatan persaudaraan ini bahkan hadir dalam struktur kepengurusan. Menurut data tahun 2021, Pendeta GITJ Desa Tempur, Bapak Suwadi, memiliki kisah perpindahan agama yang unik. Awalnya, Bapak Suwadi adalah guru ngaji (Islam). Namun, setelah istrinya, Poniyah, yang merupakan seorang guru sekolah dasar, diutus mengajar dan menjadi Nasrani pada tahun 1984, Bapak Suwadi kemudian menyusul (berganti agama Kristen) pada tahun 1988. Meskipun Bapak Suwadi menjadi Pendeta gereja, kakak kandungnya justru menjabat sebagai Ketua Takmir Masjid Nurul Hikmah. Berpindah agama tak lantas memupus persaudaraan Bapak Suwadi dan saudara-saudaranya di Desa Tempur.

Saat diwawancarai pada tahun 2021, Bapak Suwadi mengungkapkan resep rahasia kerukunan antar pemeluk agama di Desa Tempur. "Resep dari kerukunan antar pemeluk agama di Tempur adalah mengasihi dan memanusiakan. Hal itu diyakini menjadi perekat kuat toleransi di antara kedua umat," tutur Bapak Suwadi.

Semangat "mengasihi dan memanusiakan" ini tercermin dalam praktik toleransi sehari-hari yang unik dan mengharukan. Masyarakat meyakini bahwa keberadaan masjid dan gereja yang berdekatan sama sekali tidak mengganggu ibadah masing-masing umat. Bahkan, mereka saling berbagi ruang saat perayaan hari besar.

Ketika Sholat Idul Fitri atau Idul Adha, jamaah yang tidak tertampung di masjid akan memanfaatkan serambi gereja. Sebaliknya, saat perayaan Natal, umat Kristen yang tidak mendapatkan tempat di dalam gereja akan memanfaatkan serambi masjid.

Toleransi juga ditunjukkan melalui upaya saling menjaga kekhusyukan beribadah. Ketika ada kegiatan kebaktian yang menggunakan musik di gereja, dan di saat yang sama ada ibadah di masjid, kebaktian akan dihentikan sejenak sampai ibadah di masjid selesai. Selain itu, ketika ada kegiatan keagamaan seperti pengajian, umat Kristiani turut membantu bergotong royong. Begitu pula sebaliknya. Bahkan saat ada hari kurban, kaum Kristiani juga dibagi daging kurban.

Kisah kerukunan ini melampaui batas formal keagamaan. Bapak Suwadi juga sempat menceritakan pengalaman pribadinya:
"Istri saya (Poniyah) sempat sakit jantung. Yang mendoakan adalah kiai-kiai. Ketika Bu Poniyah pulang dari rumah sakit, ibu-ibu Muslimat datang ke rumahnya untuk mendo'akan. Begitu pula sebaliknya, yang mayoritas diayomi," kenang Bapak Suwadi.

Ketinggian nilai toleransi ini menjadikan Desa Tempur sebagai contoh yang sangat baik dalam penerapan sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa". Persatuan yang terbentuk dari toleransi ini juga mencerminkan penerapan sila ketiga Pancasila, "Persatuan Indonesia".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun