Mohon tunggu...
Hani Nirrana Amalia
Hani Nirrana Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Mulawarman

Seorang manusia yang suka menonton Film, dan bercita-cita menjadi seorang Sutradara.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seperti Angin, Ia Pergi Tanpa Rupa, Tetapi Membekaskan Sunyi Dalam Jiwa

23 September 2025   19:09 Diperbarui: 23 September 2025   19:09 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ucapan untuk Ayah / Sumber: Pinterest

Sesak. Tatkala merasakan kehilangan ayah. Bagi anak usia dini, bukan sekadar hirap satu sosok dalam keluarga, tetapi hirapnya sebuah poros---pusat rasa aman. Ayah bagi anak sering dipandang bak pelindung, penopang, dan cahaya menenangkan di tengah gulitanya dunia yang terasa asing baginya. Maka, ketika figur itu hirap, lenyap, dunianya pun seakan retak; ada ruang kosong yang tidak terisi,  meskipun orang-orang di sekeliling berusaha menutupi dengan kasih sayang. Pada emosional, kehilangannya ibarat angin kencang yang mencabut akar pohon muda. Anak mungkin belum memahami makna kematian, perpisahan secara logis. Tapi raga dan jiwanya rapuh, merekam setiap getar kesedihan. Ia bisa saja menangis tanpa sebab, cemas, bahkan bisa saja juga mundur ke fase perkembangan sebelumnya, seolah-olah sedang mencari kembali rasa aman yang hilang. Kadang, kerinduan itu  menjelma ke dalam pertanyaan-pertanyaan sederhana, "Ayah ke mana? Kapan pulang?" Pertanyaan itu yang menggema di ruang kosong rumah, dan jawaban apa pun tak pernah benar-benar mampu memuaskan dahaga hatinya. 

Dalam sisi sosial, absennya ayah membuat anak merasa berbeda dari lingkungannya. Ia bisa saja melihat teman-temannya yang dijemput ayah di sekolah, dipeluk, atau diajak bermain, lalu menyimpan rasa iri yang tak pernah terucap. Hal ini perlahan mengikis rasa percaya diri, membuatnya bertanya dalam diam: "Mengapa aku tidak punya seperti mereka?" Figur ayah yang biasanya menjadi teladan dalam membangun relasi sosial pun lenyap, sehingga anak bisa kehilangan arah dalam meniru, mencontoh, atau belajar tentang dunia laki-laki dan perannya. Kehilangan ini juga menjalar ke ranah akademik. Bagi anak usia dini, belajar bukan sekadar menerima informasi, melainkan proses yang sarat dengan emosi. Ketika hatinya dilingkupi oleh duka, konsentrasi menjadi buyar, semangat belajar melemah, dan dunia sekolah pun terasa seperti ruang asing tanpa warna. Sering kali, yang tampak di permukaan hanyalah anak yang murung atau enggan terlibat, padahal di dalamnya ia sedang berjuang menata kepingan-kepingan rasa kehilangan.

Secara perilaku, anak bisa mengekspresikan rasa duka dengan cara yang kontras: ada yang memilih berdiam diri, juga enggan bersosialisasi, atau justru menunjukkan agresivitas untuk menarik perhatian. Semua itu adalah bahasa jiwa yang belum mampu tersampaikan lewat kata-kata. Dan dalam jangka panjang, hilangnya figur ayah dapat membentuk luka yang lebih halus namun mendalam: keraguan dalam membangun identitas diri, pencarian yang tak henti terhadap figur pengganti, hingga rasa gentar dalam membangun hubungan di masa depan. Namun, di balik segala luka, ada cahaya yang masih bisa menembus kegelapan. Kehilangan ayah pada usia dini memang dapat meninggalkan ruang kosong, tetapi ruang itu tidak harus selamanya kosong. Dengan kehadiran ibu yang penuh kasih, keluarga yang hangat, dan lingkungan yang suportif, anak masih bisa tumbuh dengan jiwa yang resilien. Kehilangan bisa menjadi luka, tetapi juga bisa menjadi guru: mengajarkan arti kebertahanan, kerinduan yang mendewasakan, dan pemahaman bahwa cinta tidak selalu hadir dalam wujud yang sama, tetapi bisa lahir dari banyak tangan, banyak pelukan, dan banyak doa.

Pada akhirnya, kehilangan seorang ayah di usia dini adalah ujian bagi jiwa kecil yang masih rapuh. Tetapi justru dalam kerentanan itulah benih kekuatan dapat tumbuh. Anak belajar bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar hilang, melainkan berubah bentuk---dari tangan yang merangkul, dari senyum orang yang peduli, hingga doa yang senantiasa dipanjatkan untuknya. Kehilangan bisa merobek, tetapi juga bisa menenun, tergantung seberapa besar dukungan yang diterima. Dan dari sana, anak dapat tumbuh, bukan sebagai pribadi yang hancur oleh kehilangan, melainkan sebagai manusia yang lebih peka, lebih kuat, dan lebih dalam memaknai arti kehidupan. 

Sedangkan dalam kehidupan orang dewasa, kehilangan seorang ayah adalah luka yang sulit dijelaskan. Tidak ada bahasa yang cukup kuat untuk menampung rasa kosong itu. Saat kecil, kehilangan ayah mungkin terasa sebagai hilangnya pelindung dan juga sumber rasa aman. Namun ketika beranjak dewasa, kehilangan itu berubah bentuk: lebih halus, lebih sunyi, tapi jauh lebih dalam. Bukan hanya tentang sosok yang tak lagi hadir, melainkan tentang peran-peran kecil yang sirna tanpa kita sadari---nasihat yang tak lagi terdengar, teguran sederhana yang tak lagi menyapa, atau sekadar bayangan seorang lelaki yang duduk di teras rumah itu menunggu kita pulang. Dewasa membuat kita sadar bahwa ayah tidak hanya hadir sebagai pelindung, tetapi juga sebagai penopang diam-diam yang tak pernah kita ukur keberadaannya. Dan ketika ia pergi, dunia terasa sedikit timpang. Ada hal-hal yang dulunya kita anggap biasa, kini justru menjadi kerinduan yang menusuk: cara ia menyebut nama kita, kebiasaannya yang sederhana, hingga diamnya yang ternyata penuh makna. Kehilangan ayah di usia dewasa bukanlah kehilangan yang keras dengan tangis berderai, melainkan kehilangan yang sunyi, yang hidup dalam ruang batin paling dalam. Seiring waktu, kita belajar bahwa kehilangan ini adalah bagian dari perjalanan. Bahwa ayah yang pergi tidak hanya meninggalkan luka, tetapi juga warisan berupa nilai, teladan, dan kasih yang tertanam dalam diri kita. Meski tubuhnya tak lagi bersama, jejaknya tetap hadir dalam cara kita melangkah, dalam pilihan-pilihan hidup yang kita ambil, bahkan dalam cara kita mencintai orang lain. Kehilangan ayah, pada akhirnya, bukan hanya tentang kepergiannya, tetapi tentang bagaimana kita melanjutkan hidup dengan membawa serpihan dirinya yang telah melekat di hati. Tetaplah hidup ya, untuk diri sendiri, orang tua yang masih ada, dan orang-orang tersayangmu. Semoga kita selalu diberikan tawa, bahagia, dan kesehatan. Untukku, untukmu, dan untuk kita semua yang pernah mengalami kehilangan, atau berada di fase-fase kehilangan semoga bisa menghadapinya dengan penuh semangat. Apresiasi besar untukmu! Terima kasih karena telah hidup. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun