Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, memiliki fungsi ganda: spiritual dan sosial. Dalam dimensi spiritual, zakat menjadi penyuci harta dan jiwa. Namun dalam dimensi sosial-ekonomi, zakat adalah instrumen distribusi kekayaan yang sangat progresif. Ia mampu menyeimbangkan roda ekonomi dan menjawab ketimpangan sosial yang terus menjadi tantangan di berbagai lapisan masyarakat.
Dalam sistem ekonomi Islam, zakat tidak dipandang sebagai sumbangan sukarela, tetapi kewajiban yang memiliki mekanisme distribusi tersendiri. Dengan delapan golongan penerima (asnaf) yang telah ditentukan dalam Al-Qur'an, zakat hadir sebagai sistem ekonomi Ilahi yang adil, terarah, dan tepat sasaran. Inilah kekhasan zakat dibanding mekanisme bantuan sosial konvensional.
Realita hari ini menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi semakin melebar. Di satu sisi, kekayaan terakumulasi pada segelintir orang, sementara di sisi lain, jutaan orang hidup dalam kekurangan. Sistem ekonomi kapitalis sering kali menciptakan pertumbuhan tanpa pemerataan. Di sinilah zakat menunjukkan relevansinya sebagai jembatan antara pertumbuhan dan keadilan ekonomi.
Potensi zakat di Indonesia sangat besar. Data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) menunjukkan bahwa potensi zakat nasional mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun. Sayangnya, angka realisasi pengumpulan masih jauh dari potensi tersebut. Hal ini disebabkan oleh rendahnya literasi zakat, belum maksimalnya pengelolaan, serta masih banyak masyarakat yang lebih memilih menyalurkan zakat secara pribadi.
Zakat sejatinya bukan hanya untuk mengentaskan kemiskinan secara temporer. Jika zakat dikelola secara produktif---seperti untuk modal usaha, pelatihan kerja, beasiswa pendidikan, atau pemberdayaan UMKM---maka zakat menjadi investasi sosial yang sangat efektif. Penerima zakat tidak hanya terbantu sesaat, tetapi juga bisa mandiri, bahkan menjadi pemberi zakat di masa depan. Inilah siklus ekonomi berbasis zakat yang harus dibangun.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pengelolaan zakat harus bertransformasi. Pengumpulan harus berbasis data dan teknologi digital, distribusi harus tepat sasaran, dan laporan keuangan harus transparan. Lembaga zakat tidak boleh hanya bersifat administratif, tetapi juga harus inovatif dan solutif. Kolaborasi dengan lembaga keuangan syariah, koperasi, serta pemerintah daerah bisa menjadi langkah strategis dalam memperkuat ekosistem zakat yang produktif.
Lebih dari itu, edukasi masyarakat mengenai zakat juga harus ditingkatkan. Banyak masyarakat Muslim yang belum memahami betapa besar dampak zakat terhadap pembangunan ekonomi umat. Zakat bukan sekadar kewajiban agama, tetapi juga instrumen keadilan sosial. Dalam semangat gotong royong yang dibingkai oleh nilai-nilai keislaman, zakat dapat menjadi penyatu kekuatan umat dalam menghadapi tantangan ekonomi global.
Dengan zakat yang dikelola secara profesional dan ditujukan pada pemberdayaan, maka zakat tidak lagi dipandang sebagai bentuk belas kasihan, melainkan sebagai sarana perubahan sosial. Ia bisa mendorong kemajuan ekonomi dari bawah, menciptakan kemandirian, serta menghapus ketergantungan yang selama ini membelenggu kaum miskin.
Sudah saatnya kita memperlakukan zakat bukan hanya sebagai kewajiban personal, tetapi sebagai sistem ekonomi alternatif yang siap menjadi tulang punggung keadilan sosial. Dengan dukungan semua pihak---negara, lembaga zakat, tokoh agama, dan masyarakat luas---zakat bisa menjadi kekuatan transformasi ekonomi umat yang luar biasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI