Mohon tunggu...
Hanif Ulya
Hanif Ulya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aturan Mengenai Jaminan Terhadap Pekerja yang Terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

27 September 2022   12:19 Diperbarui: 27 September 2022   15:42 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pemutusan atau pengakhiran hubungan kerja sebuah perusahaan terhadap pekerjanya yang harus dilandaskan pada alasan yang jelas. Dalam pengakhiran hubungan tersebut, perusahaan harus merundingkan terlebih dahulu kepada pekerjanya sehingga pemutusan hubungan kerja tersebut tidak dapat dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang. Jika perundingan tersebut tidak membuahkan hasil, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja  setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pengaturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja tersebut telah diatur dalam pasal 151 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga perusahaan tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan sewenang-wenang dan tetap patuh terhadap peraturan yang ada.

Pemutusan Hubungan Kerja ini menjadi marak keberadaanya Ketika pandemi covid-19 melanda. Pada tahun 2021, Berdasarkan catatan Kementerian Ketenagakerjaan sebanyak 72.983 karyawan telah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dikarenakan pandemi covid-19. Tidak sedikit pula perusahaan memberikan hak terhadap pekerja yang terdampak PHK yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan.

Pemutusan Hubungan kerja tersebut merupakan salah satu hal yang merugikan masyarakat, sehingga Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh sebuah perusahaan seharusnya menjadi sebuah langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan. Dikarenakan PHK merupakan salah satu hal yang sangat merugikan para pekerja, maka apakah seorang pekerja mendapat jaminan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja tersebut?

Jaminan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja tersebut telah diatur dalam Pasal 156-157 UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja perubahan terhadap Pasal 156-157 UU Nomor 23 tahun  2003 tentang ketenagakerjaan yang dimana dalam Pemutusan Hubungan Kerja, pengusaha diwajibkan membayar kompensasi berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak kepada pekerja yang di PHK. Selain itu, ketentuan mengenai uang pesangon juga turut ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021.

Uang Pesangon yang diberikan terhadap pekerja diberikan dengan ketentuan:

  • masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  • masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  • masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  • masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  • masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  • masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  • masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Uang Penghargaan masa kerja yang diberikan terhadap pekerja diberikan dengan ketentuan:

  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

    • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
    • masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
    • masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
    • masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
    • masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
    • masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
    • masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
  • Uang Penggantian hak yang diberikan terhadap pekerja diberikan dengan ketentuan:

    • cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
    • biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja;
    • hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  • Pemberian pesangon tersebut harus diberikan oleh pengusaha kepada pekerjanya yang di PHK karena keputusan PHK akan sangat berdampak kepada kehidupan pekerja dan menghindari Tindakan PHK yang dilakukan oleh perusahaan secara sepihak dan tanpa alasan yang jelas. Jika seseorang tidak mendapatkan haknya sebagai pekerja yang di PHK, maka perusahaan tersebut dapat dikenakan Pasal 81 angka 63 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu:

    "Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah)."

    Dalam Hal ini pekerja yang tidak mendapatkan pesangon atau hak-hak lainnya dapat menuntut perusahaan atau pengusaha tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial. Namun, Langkah tersebut seharusnya menjadi Langkah terakhir dari penyelesaian sengketa pemberian pesangon terhadap pekerja yang terkena PHK. Langkah awal yang seharusnya dilakukan adalah melakukan musyawah untuk mufakat dimana telah ditegaskan pada pasal 3 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2004, yaitu melalui jalur Bipartit. Jalur bipartit adalah jalur perundingan antara pengusaha dengan pekerja untuk menyelesaikan permasalahan hubungan industrial yang dimana perundingan tersebut diselesaikan paling lambat 30 hari kerja sejak dimulainya dilakukannya perundingan tersebut.

    Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan Jaminan terhadap pekerja yang akan dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja agar seseorang terpenuhi haknya sebagai pekerja dan pengusaha atau perusahaan tidak dengan sewenang-wenang melakukan PHK terhadap pekerjanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun