Mohon tunggu...
Hanif Tsabitul Azmi
Hanif Tsabitul Azmi Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Mahasiswa Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang, sedang menempuh perjalanan panjang. Ketertarikan saya pada isu pendidikan, sosial-politik, sebagai gambaran secara umum

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Kurikulum dalam Pendidikan Lebih Dekat

5 Oktober 2025   18:13 Diperbarui: 5 Oktober 2025   18:13 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernah ga sih kalian merasa bahwa kurikulum dalam pendidikan di Indonesia ini terbentuk dari sistem kuasa? Dalam artian kurikulum ga sepenuhnya netral tapi ada campur tangan kekuasaan. Mari kita ulik bersama.

Pendidikan tidak terlepas dengan kurikulum. Kurikulum  merupakan sebuah komponen perancangan pembelajaran yang mencakup tujuan, isi, materi, metode, serta evaluasi dalam mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum sendiri merupakan instrumen penting dalam sistem pendidikan yang kerap dipandang sebagai sesuatu yang netral dan teknis. Menurut Usdarisman et al. (2024), kurikulum dalam dunia pendidikan berperan sebagai komponen fundamental yang menjadi landasan dasar dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.

Kurikulum dapat dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, dibagi menjadi dua kosakata, yaitu Curir yang bermakna pelari dan Curere yang bermakna lintasan atau pacuan. Dalam sudut pandang pendidikan, kurikulum sebagai kumpulan mata pelajaran yang wajib diselesaikan oleh peserta didik dalam memperoleh ijazah. Menurut Aslan & Hifza (2019) (dalam Yuliani ,2022) Pengertian ini menekankan bahwa isi dari kurikulum terdiri atas materi pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa, sehingga sering kali kurikulum diartikan sebagai rancangan pembelajaran yang disiapkan bagi siswa.

Secara Etimologi, Menurut J. Galen Saylor dan William A. Alexander, sebagaimana dikutip oleh Nasution, dalam Usdarisman et al. (2024) menjelaskan bahwa kurikulum merupakan keseluruhan upaya yang dilakukan oleh sekolah untuk mempengaruhi proses pembelajaran, baik secara langsung di dalam kelas, di lingkungan sekolah, maupun di luar sekolah. Artinya, kurikulum mencakup semua aktivitas yang dirancang oleh sekolah termasuk dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler yang bertujuan dalam mendukung perkembangan belajar peserta didik secara keseluruhan.

Kurikulum yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal 1 ayat 19 tentang Sistem Pendidikan nasional, merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, materi pelajaran, serta metode yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam konteks undang-undang, pengertian kurikulum yang dimaksud dengan isi dan materi pelajaran mencakup struktur, pokok bahasan, serta mata pelajaran yang dirancang untuk mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai sebagai bagian dari perwujudan tujuan pendidikan nasional.

Menurut Silverius (2004) dalam Hidayat Rakhmat (2011), rumusan tersebut mengindikasikan bahwa kurikulum memiliki dua dimensi utama, yaitu sebagai produk dan sebagai proses. Kedua dimensi tersebut mencakup keseluruhan empat aspek penting, yaitu materi atau isi pembelajaran, pengalaman belajar yang dialami siswa, tujuan kegiatan dan pembelajaran, serta hasil yang dicapai dari proses belajar-mengajar.

Namun, Pendidikan tidak sepenuhnya bebas dari nilai dalam menemukan momentum melainkan sering digagalkan oleh nilai tertentu. Dalam pendidikan, ideologi sejatinya sudah terkonstruksi dalam etika sosial. Menurut O'neill & Naomi (2001) sebagaimana dikutip oleh (syafii, 2018), dalam Khanifah & Mudzakkir (2024) bahwa ideologi mengarahkan seseorang pada perilaku maupun tindakan sosial dan bukan hanya pendidikan semata. Dalam hal ini menekankan bahwa pendidikan bukan hanya sebagai sarana murni pembelajaran, namun juga sebagai media penyebaran ideologi yang membentuk seseorang dalam berpandangan secara realitas sosial tanpa disadari bahwa politik dan ideologi telah menduduki arena pendidikan tersebut. Menurut Louis Althusser, menjelaskan bahwa pendidikan merupakan bagian dari Aparatus Ideologi Negara (Ideological State Apparatus) yang digunakan oleh penguasa dalam mempertahankan ideologi yang dominan (Khanifah & Mudzakkir, 2024). Tanpa disadari, ideologi tersebut sering kali disampaikan melalui prosedur yang dikenal sebagai kurikulum tersembunyi. Kurikulum tersembunyi inilah secara tidak sadar dipahami dan diajarkan, namun tertanam melewati interaksi siswa dengan sistem pendidikan nasional, tenaga pendidik, dan buku pelajaran. Dalam hal ini, teori kritis dan teori konflik menyoroti bagaimana kurikulum mereproduksi ketidakadilan struktur sosial dan melanggengkan dominasi ideologi tertentu.

Lalu bagaimana kurikulum memandang kekuasaan dalam konteks pendidikan?

Aspek kenegaraan yang paling jelas, mudah dipahami, serta paling tampak yaitu kekuasaannya. Keputusan yang dibuat dan menjadi patokan dasarnya terlihat dari isi Undang-Undang Dasar. Hal ini dapat dipastikan melalui peraturan yang dibuat dan dijalankan, memiliki konsekuensi hukum jika dilanggar. Negara memiliki kewenangan dalam menentukan arah sistem politik yang dianut. Sebagai negara yang dalam proses pembangunan, Indonesia memiliki sistem pemerintahan demokrasi sebagai sistem politiknya. Demokrasi dapat dikatakan seperti itu karena tergantung pada peningkatan per kapita dalam sebuah negara. Hal tersebut menjadi barang umum bahwa perekonomian menjadi teman hidup dalam memperkuat demokrasi.

Menurut Boediono, sebagaimana dikutip dalam Mangunwijaya VII (2013) dalam Cahyani & Mudzakkir (2018), bahwa terdapat sinergi yang kuat antara politik dan ekonomi. Namun, dengan hal tersebut pendidikan sangat penting dalam perannya untuk mewujudkan proses demokrasi secara substansial yang memerlukan manusia-manusia yang mampu menjalani dan memperkuat institusi yang saling berkaitan. Pendidikan seharusnya mampu membekali secara kompetensi yang mumpuni dalam melaksanakan di suatu institusi. Menurut Cahyani & Mudzakkir (2018) tidak jarang adanya pengklaiman sebagai "atas nama" dalam kepentingan beberapa pihak dalam kekuasaan negara. Hal ini tidak hanya dalam bidang ekonomi, budaya, maupun politik, namun juga praktik di dalam tubuh pendidikan. Sebagai contohnya, dalam penyempurnaan kurikulum, sering kali muncul pernyataan "Ganti Menteri, Ganti Kurikulum" atau dengan bahasa yang lebih kasar yaitu "Ganti Rezim, Ganti Kebijakan."

Kini dalam pendidikan di Indonesia, dinamika perubahan kurikulum dipengaruhi oleh kepentingan tertentu melalui ideologi serta menjadi cerminan agenda politik dari setiap pemerintahan. Menilik regulasi kurikulum 1975 yang memunculkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), serta disusul dengan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) pada 1985 sebagai penanaman nilai perjuangan 45 pada generasi baru (Bunyamin, 2008, sebagaimana dikutip Mamduh & Hidayat, 2019, dalam (Khanifah & Mudzakkir, 2024). Setelah Orba diruntuhkan, pendidikan masih terbelenggu oleh ideologi dan politik yang semakin tersusun. Transformasi kurikulum menjadi barang yang tak terpisah dari setiap kepemimpinan dalam pemerintah. Pasca Orba, mulai dari Kurikulum 2004, Kurikulum 2006, Kurikulum 2013, Hingga Kurikulum Merdeka, semuanya memiliki adaptasi mengenai visi ideologi pemerintah serta tantangan sosial-politik yang diselesaikan oleh pemerintahan.

Pernyataan skeptis dalam memantik perubahan kurikulum dan dilegitimasi oleh Subkhan (2018) yaitu "Ganti Menteri, Ganti Kurikulum". Menurutnya, bahwa pendidikan didasari oleh visi ideologi tertentu serta telah dikoordinasi oleh pemerintahan dalam sebuah negara. Dalam hal ini, ideologi dan kurikulum telah dijelaskan oleh Michael Apple (2004) dalam Subkhan (2018) yang mengungkapkan bahwa kurikulum tidak hanya sebatas penyampaian pengetahuan formal, namun juga mengenai nilai-nilai yang tidak tampak jelas sehingga kurikulum tersembunyi dapat mendominasi ideologi yang mempengaruhi cara pandang siswa mengenai fenomena sosial, politik, dan kurikulum.

Pendidikan formal sering kali menjadi alat strategis utama dalam mentransfer pengetahuan dan nilai ideologi kepada siswa melalui buku pelajaran, sehingga tidak hanya berperan penting dalam pengajaran teoritis namun juga menyiratkan dominasi ideologi yang hadir di masyarakat. Secara tidak langsung buku-buku tersebut dapat mempengaruhi cara pandang siswa mengenai realitas sosial menjadi pengingat siswa sebagai generasi muda dalam lingkungan akademik yang rentan disusupi oleh pengetahuan dominasi dari struktur kelas tertentu. Menurut Althusser, 2007, dalam Khanifah & Mudzakkir (2024) bahwa siswa hanya menjadi medan arena pendidikan yang disusupi ideologi, namun juga berpotensi menjadi agen ideologi dalam mereproduksi nilai yang telah tertanam kepada generasi yang lebih muda sehingga mendukung struktur sosial yang membentuk subjek ideologi yang ada.

Maka, kurikulum dalam konteks pendidikan dapat menjadikan nilai-nilai yang menyusupi ideologi. Dalam hal ini, kurikulum tidak hanya menjadi alat untuk pembelajaran dalam pendidikan saja, namun juga menjadi alat kekuasan dan medan dominasi ideologi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun