Mohon tunggu...
Hanifan Aulia Hafiz
Hanifan Aulia Hafiz Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa aktif pada prodi Ilmu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Alutsista, CAATSA, dan Embargo bagi Indonesia

31 Mei 2023   22:50 Diperbarui: 31 Mei 2023   23:00 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembelian alutsista bagi Indonesia selalu menjadi topik menarik untuk dibahas. Sejak zaman kemerdekaan persenjataan telah menjadi komponen yang esensial bagi pertahanan dan perlindungan negara. Penerbangan Dakota VT-CLA yang merupakan penerbangan yang menggunankan pesawat Douglas C-47 merupakan salah satu penggunaan aset militer dalam perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Penggunaan persenjataan bekas Jepang dan persenjataan hasil rampasan dari Belanda juga turut ikut serta dalam perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan.

Pada masa Perang Dingin tepatnya pada masa kepemimpinan presiden Soekarno Indonesia melakukan pembelian alutsista yang besar dari Uni Soviet dengan tujuan persiapan operasi TRIKORA. Pembelian alutsista ke Uni Soviet senilai USD2.5 miliar ini dilakukan oleh Indonesia karena kegagalan Indonesia untuk membeli persenjataan dari Amerika Serikat. Pembelian alutsista ini diantara lain mengandung beberapa pesawat tempur, pesawat angkut, pesawat pembom, helikopter serang, helikopter angkut, kapal selam, dan kapal cepat rudal. Pembelian alutsista yang dilakukan Indonesia ini menghasilkan angkatan udara Indonesia yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa pada saat itu karena pembelian alutsista dari Uni Soviet tersebut Indonesia menjadi kekuatan udara terkuat pada belahan bumi bagian selatan.

Setelah turunnya Soekarno dari kepresidenannya, nasib dari alutsista yang dibeli pada era Soekarno sudah mulai tidak bisa diurus. Pada masa kepemimpinan Soeharto Indonesia menjadi negara yang sangat anti terhadap komunisme, kebijakan luar negeri Indonesia menjadi lebih condong terhadap Amerika Serikat dan sekutunya. Akibat dari perubahan sikap dari Indonesia ini diplomasi Indonesia dengan Uni Soviet menjadi sangat buruk. Indonesia bahkan mendapatkan embargo senjata dari Uni Soviet, akibat dari embargo ini banyak alutsista Indonesia yang didapatkan dari Uni Soviet yang tidak dapat diurus karena kurang suku cadang. Sejak embargo tersebut dan naiknya Soeharto sebagai presiden, persenjataan Indonesia condong terhadap persenjataan Amerika Serikat dan sekutunya.

Pada era reformasi tepatnya pada tahun 1995, Indonesia mendapatkan embargo senjata dari Amerika Serikat karena adanya tuduhan penggaran HAM oleh Indonesia di Timor Leste. Embargo ini memberikan efek bahwa Indonesia tidak bisa mendapatkan suku cadang yang diperlukan untuk tetap menggunakan persenjataan dari Amerika Serikat. Sehingga pada dasarnya angkatan udara Indonesia yang pada saat itu terdiri dari pesawat tempur F-16 dan F-5 tidak dapat digunakan dan harus di grounded. Embargo oleh Amerika Serikat ini membuka jalan baru Rusia untuk menjual pesawat tempurnya ke Indonesia. Pada tahun 2003 Indonesia melakukan pembelian pesawat Su-27 dan Su-30 dari Rusia. Pesawat-pesawat Sukhoi tersebut tetap digunakan oleh Indonesia hingga saat ini, namun dengan adanya ancaman embargo dari Amerika Serikat karena kebijakan CAATSA, ada ancaman bahwa Indonesia tidak bisa lagi memakau pesawat-pesawat Sukhoinya.

CAATSA atau Countering America’s Adversaries Through Sanctions merupakan kebijakan yang dibuat oleh Amerika Serikat untuk mengembargo musuh-musuh Amerika Serikat dari penjualan senjatanya, negara tersebut adalah Rusia, Iran, dan Korea Utara. CAATSA memberikan efek bahwa negara yang membeli alutsista dari ketiga negara tersebut akan mendapatkan sanksi langsung dari Amerika Serikat berupa embargo atau/dan sanksi terhadap negara yang melakukan pembelian. Turki menjadi negara yang terkena efek dari kebijakan tersebut, pada 2017 Turki melakukan pembelian sistem pertahanan udara S-400 senilai USD 2.5 miliar dari Rusia. Mike Pompeo, menteri luar negeri Amerika serikat mengutarkan kecemasan dan protes terhadap pembelian tersebut, hingga pada akhirnya akibat dari pembelian sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia memberikan efek Turki dikeluarkan dari program kerja sama pesawat tempur F-35.

Indonesia sendiri merasakan efek langsung dari CAATSA. Pada tahun 2018 Indonesia menandatangani pembelian pesawat tempur Su-35 dari Rusia, pembelian tersebut terdiri atas 11 pesawat tempur Su-35 dengan barter pembelian karet, CPO, kopi, dan the oleh Rusia. Namun CAATSA dan tekanan administrasi kepresidenan Trump menekan Indonesia untuk tidak membeli dan melanjutkan pembelian tersebut. Pada tahun 2021 Indonesia akhirnya membatalkan rencana pembelian pesawat tempur Su-35 karena tekanan Amerika Serikat dan resiko mendapatkan sangsi.

Ketakutan dan resiko terhadap sangsi yang diberikan baik dari Amerika Serikat maupun negara manapun mendorong Indonesia untuk memilih negara produsen senjata yang condong lebih “bebas”, Prancis merupakan salah satu dari negara tersebut. Walaupun Prancis merupakan anggota dari NATO dan masuk kedalam istilah “negara barat“, kebijakan Prancis yang lebih “bebas” dari negara-negara sekutunya menghasilkan suatu pilihan yang sangat cocok bagi negara yang ingin membeli alutsista dan bebas dari ancaman embargo. Pada tahun 2010 saja Prancis dan Rusia menyepakati pembelian kapal kelas Mistral dari Prancis senilai 1.37 miliar Euro, Rusia yang notabenenya merupakan “musuh” dari negara-negara NATO diperbolehkan oleh Prancis untuk mengakuisisi sebuah kapal jenis kapal serbu amfibi.

Pada tahun 2022, Indonesia mencapai kesepakatan dengan Prancis untuk membeli pesawat Dassault Rafale. Pemilihan Prancis sebagai pemasok pesawat tempur bagi Indonesia menjadi titik penting dalam sejarah karena pembelian ini merupakan momen pertama kalinya Indonesia mengoperasikan pesawat tempur yang berasal dari Prancis. Pembelian yang telah dikonfirmasi oleh Prabowo selaku Menteri Pertahanan kita ini menjadi pendorong diplomasi Indonesia dengan Prancis. Pembelian ini membuka jalan yang lebih lebar terhadap kerja sama bilateral antara Indonesia dan Prancis. Pada tahun 2023 Indonesia mengutarkan ketertarikannya terhadap kapal selam Prancis kelas Scorpene, bila memang Indonesia mengakuisisi kapal selam tersebut pembangunan kapal tersebut dapat dilakukan di PT PAL di Surabaya. Kerja sama dan pembelian dengan Prancis ini memberikan manfaat dan keuntungan bagi kedua negara tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun