Selama empat bulan menjalani asistensi mengajar di SMAN 1 Boyolangu, saya mengalami banyak hal yang tidak hanya memperkaya pengetahuan saya sebagai calon guru, tetapi juga memberikan pelajaran penting dalam kehidupan pribadi. Saya ditempatkan di kelas XI.7, sebuah kelas yang awalnya saya anggap penuh tantangan. Namun seiring berjalannya waktu, kelas ini justru menjadi tempat saya belajar banyak hal, mulai dari bagaimana membangun komunikasi yang baik dengan siswa, mengelola kelas, hingga menumbuhkan empati sebagai seorang pendidik.
      Hari-hari pertama saya di sekolah diwarnai dengan perasaan campur aduk. Ada rasa gugup karena harus berhadapan langsung dengan siswa, tapi juga ada semangat untuk belajar dan berkembang. Saat pertama kali masuk ke kelas XI.7, saya bisa merasakan bahwa sebagian siswa masih ragu dengan kehadiran saya. Ada yang tersenyum menyambut, namun ada juga yang terlihat masih menilai. Saya menyadari bahwa untuk bisa diterima oleh siswa, saya perlu lebih dari sekadar menyampaikan materi. Saya perlu hadir sebagai pribadi yang tulus, yang datang untuk belajar bersama mereka. Perlahan, saya mencoba membangun hubungan yang hangat dan saling menghargai dengan siswa. Saya mulai memahami karakter mereka satu per satu dan mencoba menyesuaikan pendekatan mengajar agar lebih cocok dengan kebutuhan mereka.
      Proses mengajar menjadi tantangan tersendiri. Pada awalnya saya merasa canggung, takut jika penyampaian materi saya kurang jelas atau membosankan. Namun, dari situ saya belajar bahwa mengajar bukan hanya soal memberi informasi, tapi juga bagaimana menyampaikan materi dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami. Saya mencoba berbagai metode, salah satunya dengan permainan edukatif yang dimodifikasi dari "Snakes and Ladders" untuk pembelajaran Ekonomi. Ternyata, siswa sangat antusias mengikuti permainan tersebut. Mereka semangat menjawab soal, saling mendukung, dan suasana kelas menjadi lebih hidup. Momen-momen seperti ini memberi saya keyakinan bahwa belajar bisa menyenangkan jika kita mau berinovasi.
      Saya juga membuat modul pembelajaran sederhana yang disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Misalnya, saat membahas perdagangan internasional, saya mengajak mereka mencari tahu produk lokal dari daerah mereka yang punya potensi ekspor. Hasilnya, mereka jadi lebih tertarik dan merasa materi pelajaran lebih relevan dengan kehidupan mereka. Beberapa bahkan mulai tertarik mendalami bidang ekonomi lebih jauh. Saya senang melihat mereka lebih aktif berdiskusi dan berani menyampaikan pendapat. Dari sini saya sadar bahwa pendekatan kontekstual bisa membuat siswa merasa pembelajaran bukan hanya soal teori, tapi juga punya makna dalam kehidupan nyata.
      Selain mengajar, saya juga ikut dalam berbagai kegiatan sekolah di luar kelas. Salah satu yang paling berkesan adalah saat mendampingi siswa dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) bertema "Bangunlah Jiwa dan Raganya." Dalam proyek ini, siswa mengikuti berbagai kegiatan seperti membuat poster, lomba memasak, senam kreasi, dan menghitung kebutuhan kalori harian. Peran saya adalah membantu guru dalam mempersiapkan kegiatan dan mendampingi siswa selama kegiatan berlangsung. Kegiatan ini mengajarkan saya bahwa pendidikan bukan hanya tentang nilai akademik, tapi juga tentang membentuk karakter, kerjasama, dan kreativitas siswa.
      Saya juga sempat mengisi materi di kegiatan Pondok Ramadan, serta terlibat dalam pelaksanaan upacara bendera dan kegiatan sekolah lainnya. Semua ini membuat saya melihat bahwa menjadi guru berarti juga harus aktif dalam kehidupan sosial siswa. Kegiatan-kegiatan tersebut menumbuhkan rasa kepedulian dan kebersamaan yang penting dalam proses pendidikan.
      Dari sisi administrasi, saya mendapat kesempatan belajar menyusun modul ajar, membuat soal ujian, menilai hasil belajar siswa, hingga mencatat kegiatan dalam jurnal mengajar. Pada awalnya terasa sulit karena harus detail dan sesuai kurikulum, tapi berkat bimbingan guru pamong yang sabar dan suportif, saya mulai terbiasa. Setiap selesai mengajar, kami berdiskusi dan merefleksikan proses pembelajaran hari itu apa yang berjalan baik, apa yang perlu diperbaiki, dan bagaimana strategi untuk ke depannya. Dari situ saya belajar bahwa menjadi guru yang baik bukan hanya soal menguasai materi, tapi juga terus-menerus belajar dari pengalaman dan terbuka terhadap masukan.
      Saya juga menjalani tugas piket di beberapa bagian seperti di lobi, perpustakaan, dan pos satpam. Di lobi, saya membantu mencatat surat izin keluar-masuk siswa dan menyampaikan pengumuman ke kelas. Di perpustakaan, saya membantu merapikan buku dan mencatat data peminjaman. Sementara di pos satpam, saya membantu mencatat siswa yang datang terlambat. Meski terlihat sederhana, tugas-tugas ini membuka mata saya bahwa setiap bagian sekolah saling mendukung dan penting untuk menciptakan suasana belajar yang tertib dan nyaman.
      Yang paling saya syukuri dari semua pengalaman ini adalah hubungan yang terjalin dengan para siswa. Mereka tidak hanya datang ke saya saat jam pelajaran, tapi juga di luar kelas. Ada yang sekadar ingin bercerita, bertanya soal masa depan, atau minta bantuan memahami materi. Saya merasa dipercaya, dan itu menjadi pengalaman yang sangat berharga. Saya merasa diterima bukan hanya sebagai guru magang, tapi sebagai seseorang yang bisa mereka ajak bicara dan percaya.