Di tengah gempuran narasi "Indonesia Emas 2045", muncul suara-suara sumbang dari generasi muda yang merasa terpinggirkan. Tagar #KaburAjaDulu yang sempat viral di media sosial mencerminkan kegelisahan mereka terhadap kondisi politik dan ekonomi nasional.Â
Fenomena ini bukan sekadar lelucon dunia maya, melainkan cerminan nyata dari krisis kepercayaan generasi muda terhadap masa depan mereka di tanah air.Â
Negeri yang seharusnya bukan hanya tempat lahir, tetapi juga tempat mereka tumbuh, berkembang, dan berkontribusi sepenuhnya.
Data dari UNESCO pada Februari 2024 mencatat bahwa 59.224 pelajar Indonesia sedang menempuh pendidikan di luar negeri, menunjukkan tren peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.Â
Sementara itu, laporan dari The Global Economy (2024) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-88 dari 175 negara dalam indeks human flight and brain drain, dengan skor 5,4, menandakan tingkat kehilangan tenaga kerja terampil yang signifikan.
Krisis Kepercayaan Generasi Muda
Generasi muda Indonesia, yang semestinya menjadi pilar pembangunan, kini justru dilanda pesimisme. Tingkat pengangguran usia 15--24 tahun mencapai 18--19% (BPS, 2024), jauh di atas rata-rata nasional. Ini diperparah oleh ketidakcocokan antara pendidikan dan kebutuhan pasar kerja, memaksa banyak lulusan menerima pekerjaan di bawah kapasitas atau mengejar peluang ke luar negeri.
Fenomena ini bisa dijelaskan lewat teori anomi dari Emile Durkheim (1897): ketika harapan dan realitas tidak lagi sejalan, individu merasa terasing dan kehilangan arah.Â
Dalam konteks ini, banyak anak muda merasa sistem politik dan ekonomi tidak mencerminkan nilai dan aspirasi mereka, bahkan terasa menutup ruang aktualisasi. Indonesia terasa seperti tempat lahir yang tak lagi memberi ruang tumbuh.
Krisis ini juga mencuat dari rendahnya perhatian terhadap pendidikan dan pelatihan vokasi. Padahal, jalur vokasional adalah jalan tercepat dan paling strategis untuk menjembatani pendidikan dan dunia kerja.Â