Mohon tunggu...
Nadim AlLande
Nadim AlLande Mohon Tunggu... Penulis - Study Sosiology

Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji Tanjungpinang. Bercita-cita ingin abadi, dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Habil atau Qabil?

13 Februari 2020   14:01 Diperbarui: 13 Februari 2020   15:31 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam banyk hal, bahkan kadang masih muncul perdebatan dan pertanyaan. Apakah islam harus mengikuti zaman? Ataukah zaman yang mengikuti islam? Kedua pertanyaan ini hampir sudah lama menjadi perdebatan bahakan saya kira, seharusnya sudah selesai dan final.

Munculnya tokoh-tokoh pembahruan Islam seperti Cak Nur. Ahmad Wahib, Kuntowijoyo, Dawam Rahrjo, Djohan Efendi, Mukti Ali dan lain sebaginya. Memberikan kesegaran pada islam itu sendiri, mereka Lebih menekanakan pada insklusif  kemoderanan Islam, tradisional Islam serta relevansi Agama itu sendiri. seperti ungkapan yang terkenal satu ini "setiap zaman punya zamanya sendiri", maka muncul pertanyan kedua diatas "ataukah zaman yang mengikuti islam?".

Pandangan ini juga tidak salah juga tidak benar dan harus dikoreksi. Tidak benarnya disini iyalah apakah mungkin kita mengunakan onta, kuda, menolak sosial media (whatsap, youtube, instagram, facebook, dan ll), menolak segala bentuk kemajuan yang saya kira padahal mempermudahkan segala urusan manusia, yang tadinya mengunakan onta berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sekarang dengan mudah dan cepat untuk hijrah ke satu tempat ke tempat yang lain.

Bila kita berkaca pada hari ini, kemajuan luar biasa ini adalah kemajuan yang tidak kita temui di zaman rasul. Bahkan bukan berati dizaman rasul juga tidak maju. Justru islam yang dibawak oleh rasulullah adalah  agama yang  kontemporer mempunya visi misi besar dan jauh kedepan (Rahmatan lil alamain). Maka setiap "zaman punya zamanya sendiri-sendiri".

Dogma Agama

Bila kita membaca Al-Quraan tentu isinya lebih banyak dialektika historis, dimanah lebih banyak diceritakan kisah-kisah sejarah dari nabi- nabi terdahulu. Bila kita menilik satu persatu dari kisah-kisah sejarah didalam Quraan itu sendiri tidak terlepas dari fenomena sejarah "pertentangan kelas" (antar ke-kuasaan vs non-kekuasaan, kauam lemah versus kaum kuat, kaum kapitalisme dan sosialisme dan lain sebagainya).

Seperti sebuah kisah sejarah permulaan. Kelompok yang diwakili Habil adalah kelompok taklukan dan tertindas; yakni, rakyat yang sepanjang sejarah dibantai dan diperbudak oleh sistem Qabil, sistem hak milik indivindu yang memperoleh kemenangan dalam masyarakat. Peperangan antara Habil dan Qabil adalah pertempuran sejarah abadi yang telah berlangsung pada setiap generasi.

Panji-panji Qabil senantiasa dikabarkan oleh penguasa, dan hasrat untuk menembus darah Habil telah diwarisi oleh generasi keturunanya, rakyat tertindas yang telah berjuang untuk keadilan, kemerdekaan, dan kepercayaan teguh pada suatu perjuangan yang terus berlanjut pada setiap zaman (Syarifudin 2010: 145; Ali Syariati, 1982). Melihat dualisme yang berseberangan antara penindasan dan yang tertindas kita bertanya, apakah ciri tabiat diatas, kita bagian dari keturunan yang manah? Apakah kita anak cucu Habil ataukah kita adalah bagian dari gen-gen nya qabil.

Islam tidak mengenal yang namanya sitem kapitalisme-individualistik, tapi islam dengan terang menanamkan semangat sosialisme, dimanah dicantumkan dalam bahasa Al-Quraan "setiap rezeki yang diberikan tuhan ada sebgaian rezeki untuk orang lain". Ini tentu berbeda pula dengan Max Weber dengan Etika Protestan-nya, Adam Smith dengan The Wealth of Nation-nya, dan David Ricardo dengan On The Principles Of Political Economy And Taxation-Nya.  Maka menumpuk kekayaan adalah satu sifat yang amat buruk dan dibenci oleh Tuhan, untuk  itu islam lebih mengenal sistem "sadaqah/Infak". Tapi memang aneh pada ahkirnya orang yang mencintai rasulnya juga memiliki kehidupan yang sangat mewah dan berkehidupan yang kapitalis, justru sangat bertentangan dengan kehidupan nyata rasulullah.

Apakah memiliki harta bergelimang itu tidak boleh? Tentu saja boleh hanya saja lebih baik digunakan untuk beramal jariyah (sedeqah) pendidikan dan pengembangan kualitas manusia (anak yatim piatu, rakyat miskin, serta janda-janda). Namun penulis tidak membahas hal itu lebih dalam.


Dalam hal ini pentingnya memberikan kesadaran kritis bahwa ada hal yang mesti dibedakan antara rasionalitas dan irasionalitas. Artinya adalah islam berlaku sangat humanis sebagaimanah rasul menerapkan rasa persamaan (sosialisme) senansib sepenagungan dikala dimusuhi oleh banyak kalangan masyrakat Arab. Sebagai bentuk kepedulian Islam sebagai ajaran yang (Rahmatan lil alamin) yang dibawak langsung rasul adalah ajaran (kesadaran) pembebasan dan anti diskriminatif (kelas-kelas sossial) terhadap ekspolitasi perbudakan dan mengangkat derajat emansipasi wanita. Itu dibuktikan dengan perinsip egaliter juga equality(sejajar) yakni adanya pembebasan bilal bin rabah yang menjadi budak oleh masyrakat abad jahiliyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun