Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mendengar Hujan (Percakapan Malam Pengantin)

19 Juli 2014   08:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:55 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Ilustrasi) Ruangan kamar beraroma bunga melati. Bunganya menggantung di sudut-sudut tiang tempat tidur yang terbuat dari besi. Sedikit berkarat. Kelambunya tersingkap bagai awan tertiup angin. Puluhan kado berwarna-warni tergeletak di atas kasur bersprei merah bunga mawar.
Namun tak mengubah posisi dua bantal dan satu guling di tengahnya.
Foto akad nikah sudah di cetak dan di beri pigura terpampang di meja kecil di depan kaca. Sepatu sandal dan baju pengantin adat jawa terkulai lemah setelah seharian berdiri. Hanya ada dua jiwa yang resah setelah semua orang pergi.
Lalu mereka masuk ke dalam kamar dan menanggalkan penat di tubuh mereka dan bercakap di atas kasur dengan hasrat yang halal.

X. Aku mendengar gemuruh di langit dan tak lama gemericik hujan terdengar jatuh. Sepuluh menit setelah usai bercumbu denganmu. Lalu kamu bangkit dari pelukku dan menangis sesegukan hingga gemericik hujan terdengar samar.
Tiba-tiba gelegar halillintar menyambar dan cahayanya menembus celah ventilasi kamar dan terlihat wajahmu menunduk berpelukan bantal. Aku dekati kamu lalu berbisik di telingamu.
Berhentilah untuk menangis dan dengarkanlah hujan malam ini. Tidakkah kau sadar musim kemarau sudah berganti dan ciumlah bau tanah kering yang tersiram air dari langit.
Kamu menatapku diam entah apa yang kamu pikirkan. Mungkin banjir atau tanah longsor.
Lalu kubisikan lagi di telingamu. Bukankan kamu senang dengan hujan. Getar suaraku yang terakhir menggelitik telingamu dan membuat mulutmu terbuka.

Y. Iya. Kamu benar. Dulu aku sering berlama-lama diam hanya untuk mendengarkan rintik-rintik hujan yang jatuh di atas tanah.
Lalu merasakan tetes airnya dan kubiarkan membasahi seluruh tubuhku. Namun hujan terkadang membuatku gelisah bahkan terlalu hingga aku tak ingin mendengarkannya lagi. Atau merasakan tetes airnya. Apa kau ingat malam itu? Enam bulan lalu saat kau antar aku ke dokter 24 jam. Kita duduk lama di beranda depan menunggu antrian.
Tak lama hujan turun. Aku eratkan pelukku di tubuhmu dan kubiarkan rebah kepalaku di dadamu.
Kau berbisik padaku. Kau bilang tak usah khawatikan benih yang kau tanam untukku. Bila Tuhan belum merencanakan, hujan pun tak akan pernah turun.
Tidakkah kau dengar sayang. Detak benih di perutku semakin melemah.
Begitu aku sangat mencintai sosok dirimu. Dan kurelakan sebelumnya untukmu.

X. Aku kembali merebahkan seluruh tubuhku namun tetap disampingmu. Aku tak pernah terlalu jauh darimu. Karena kutahu kamu rapuh. Aku menyadari kegelisahanmu. Namun hujan begitu deras. Tidakkah kau ingat sebelum kita menikah.
Kita pergi berdua ke Kebun Raya Bogor. Kita melewati jembatan merah yang di percaya bisa memisahkan cinta. Kau naik diatas pundakku dan waktu itu hujan. Sebentar lagi senja. Kita tak percaya tentang jembatan merah itu.
Ternyata cinta kita terlalu kuat hanya untuk di hancurkan kepercayaan seperti itu. Kita diam meneduh di pohon akasia yang paling besar.
Rintik hujan yang jatuh mengenai ranting-ranting pohon seperti alunan musik berirama lembut dan kau pun bernyanyi untukku.

Y. Iya. Aku bernyanyi di depan mulutmu. Tatapan matamu menusuk kedua bola mataku. Aku berharap kau lumat semua bibirku. Dan hentikan nyanyian cintaku untukmu.
Aku menunggu setan pohon itu merasuk jiwamu. Lalu merabaku dan membiarkan leherku terangkat hingga tetes hujan membasahi mulut dan wajahku.
Namun tidak. Justru kamu menanti malaikat datang. Kau seorang lelaki yang susah ku tebak. Aroma birahimu seperti wangi pohon hujan ketika basah.
Aku masih berharap kau meraba keinginanku saat itu. Senja itu sepi. Dan hanya gemericik hujan yang terdengar bersama burung-burung Perkutut dan Puter yang sesekali melompat di dahan-dahan pohon yang keras.
Lalu ku bertanya. Jadi kau berniat duduk di taman itu dengan pancuran air di tengahnya?
Bajuku basah begitupun celanaku.

X. Ehm. Aku masih ingat. Aku malah mengutuki malaikat itu datang. Padahal aku tahu setelah hidupku di dunia berakhir aku berteman neraka.
Aku tidak berfikir sejauh itu. Malah aku hapus titik-titik air yang menempel di rambutmu yang tebal. Aku hanya ingin mendengarkan hujan.
Tidak desahanmu yang mengundang iblis datang. Lalu hujanpun mulai reda. Kita lanjutkan perjalanan menuju danau kecil buatan yang ada di tengah Kebun Raya Bogor.
Burung-burung pemakan ikan sudah lebih dulu hadir disana.
Hinggap bergayut di akar-akar pohon rambat yang besar. Titik air masih terasa jatuh mengenai kulit lenganku.

Y. Sayang. Aku merasa seperti burung-burung itu. Pergi di musim kemarau dan datang di kala musim penghujan. Karena aku tahu kau hadir saat gemuruh langit terdengar.
Bukankah itu nyanyian Tuhan. Kali ini akan kurawat benihmu baik-baik di dalam rahimku.
Tak usah khawatir.
Karena aku akan menjadi wanita yang sempurna setelah ini. Tuhan pun tahu. Surganya telah di tempatkan di telapak kakiku. Buat anak-anakku nanti.

X. Lalu. Apakah anak-anak itu nanti akan berlari-larian di saat hujan datang seperti masa kecil ibunya dulu. Atau diam mendengarkan hujan di dalam kamar sambil berhayal bercinta dengan sang pangeran. Aku tak berharap hidup berlama-lama dan melihat anak-anakku tumbuh.
Aku tak ingin mereka tahu apa yang di perbuat orang tuanya dahulu.

Y. Hahaha. Apakah kau tak mengajakku serta di saat kematianmu. Bukankah lebih nikmat mendengar hujan di dalam gundukan tanah dan kita berdua di dalamnya.
Tak usah khawatir tentang neraka yang akan membakar. Bukankan hujan datang untuk memadamkan semua.

X. Pasti. Karena aku menyadari sangat mencintaimu. Dan Tuhan pun tahu. Bagaimana bisa aku hidup tanpamu.
Sedangkan segala cobaan telah kita tempuh bersama. Kini kau adalah istriku. Bila kamu mengandung nanti.
Setiap pagi akan ku dengarkan gemericikan tetesan hujan di rahimmu yang ku rekam lewat MP4 samsungku.
Dan bila malam kusebatkan doa-doa hingga iblis bertekut lutut di depanmu.

(Ilustrasi). Malam kian larut dan hujan pun belum usai berhenti. Sang pengantin masih berpelukan dalam selimut yang tebal menutupi hasratnya yang liar.
Sesekali gemuruh kilat menyambar.
Hingga pagi. Menunggu datangnya para malaikat memberi salam.

HandyPranowo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun