Mohon tunggu...
Handry TM
Handry TM Mohon Tunggu... -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Roti yang "Kehilangan Surga"

12 Desember 2016   23:09 Diperbarui: 12 Desember 2016   23:37 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://tangerinedrawings.com

Oleh:  Handry TMHampir sulit menjelaskan, sepotong roti ternyata memiliki jalan spiritualnya sendiri. Selain ia hanya sebentuk makanan berbahan baku air dan tepung terigu yang difermentasi, lantas diadoni garam, minyak dan mentega agar bergizi.

TAPIkehadiransepotong roti ternyata tidak sesederhana yang kita lihat di rak-rak kaca tempatnya berjaja.  Ia bisa menjadi makanan ritual ketika digunakan untuk berdoa, bermuatan politis saat hadir di pesta kampanye kekuasaan, bahkan menjadi musuh di kala tidak tepat keberpihakannya. Kadang kita bertanya-tanya, benarkah sepotong makanan yang mungil, cantik dan menawan itu, memiliki kekuatan dahsyat menggoyang pikiran sehat manusia?

Ia dibentuk, dipotong dan dikemas ke dalam sebuah plastik. Tidak kalah akal, juru masaknya membagi-bagi jenis roti menjadi biskuit, scone, baguette, bagel, tortilla, pita, lavash, pretzel dan donat.

Produk makanan yang berhasil meraih pasar, biasanya membentuk simbol kekuatannya sendiri. Secara tidak langsung dan secara terbuka ia akan menawarkan agar dimanfaatkan. Mc.Donald, Pizza HUT, Coca-Cola, Pepsi atau merk ternama yang lain,  jangan heran jika tidak hadir secara independen. Ia akan mewakili nama besar di balik produk jualannya. Mungkin tidak disengaja, namun nyatanya ketika kita menenggak Pepsi Cola, serasa sedang meniadi manusia sibuk Amerika.

Di saat konsumen telah sangat jatuh cinta pada produk makanan tertentu, tatkala seisi bumi merasa bahwa produk-produk yang dikonsumsinya itu adalah pelengkap keseharian hidupnya, maka perang pasar pun dimulai . Para pesaing tidak saja berperang meningkatkan produk, namun juga mencari celah di balik proses produksi. Dibuatlah isu yang menjatuhkan lawan. Tidak heran ketika beberapa negara Asia Tenggara pernah “mengharamkan” produk-produk Amerika \, karena beredar viral, sekian persen keuntungan produk tertentu diisukan untuk memerangi negara minoritas di Timur Tengah.

Nasib malang pun menimpa produk roti lokal. Ketika secara “salah posisi” ia dijajakan di komunitas tententu, dan kelompok yang berseberangan bersikap berkeberatan. Produsen roti berusaha mengklarifikasi, tapi celaka, justru ia terkena kampanye boikot dari pihak yang semula mengkonsumsinya.

Benarkah sepotong makanan serupa roti tidak bernyawa? Bagaimana caranya agar  ia bisa tampil dengan “ruh” sebagaimana manusia? Fenomena ini bukan yang pertama, namun setidaknya etika sosial sangat bermain di dalamnya.

James Q Wilson, sosiolog Amerika dalam bukunya, The Moral Sense (1993), pernah mengingatkan  tentang etika sosial di atas. Etika sosial global diprediksi akan terus bergerak, bahkan kian bergeser. Kita tidak bisa berharap dari society atau kelompok besar. Iaharus dimulai dari bilik rumah bernama keluarga. Pertahanan sosial akan dijaga dari sana, bukan dari sekumpulan ideologi.

Hal tersebut dipertegas oleh John Nasibitt (penulis New York Timesyang terkenal dengan buku Megatrend 2000). Menurutnya, kelak akan muncul tata laku universal di abad 21. Tata laku baru ini demikian kuatnya, sehingga masyarakat terkaget-kaget terhadap ukuran-ukuran yang muncul di kiri kanannya. Demikian pula masyarakat ideologis akan menyikapi keyakinannya (agama, aliran kepercayaan) dengan ekstremnya.

Pembodohan dan Pencerdasan

Siapakah seseorang yang paling getol membicarakan objek kecil seukuran roti menjadi masalah yang seolah-olah besar? Mengapa tidak membiarkan saja roti itu tampil sebagaimana tugasnya, mengenyangkan perut, memberi asupan gizi di tubuh pembelinya. Proses berikutnya,  produsen membuat roti sebanyak-banyaknya. Mengapa tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun