Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Modus Gila untuk Membekap Kasus Penganiayaan Syekh Ali Jaber

16 September 2020   10:27 Diperbarui: 16 September 2020   10:39 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syekh Ali Jaber (Foto: youtube.com/KOMPASTV)

Sesuai dengan Pasal 1 (1) KUHAP, Polri adalah pihak yang satu2nya mempunyai kewenangan khusus berdasarkan Undang2 untuk melakukan penyidikan atas kasus penganiayaan Syekh Ali Jaber.


Sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Pasal 7 KUHAP Polisi sebagai penyidik telah menggeledah dan menahan AA sebagai tersangka, menyita pisau sebagai alat bukti. Polisi juga punya kewenangan untuk mendatangkan ahli dalam menangani penyidikan perkara. Termasuk ahli jiwa/psikiater untuk memastikan keadaan jiwa tersangka.


Selain itu Polisi juga punya kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan perkara. Dalam kondisi bagaimana Polisi menghentikan penyidikan ? Sesuai dengan Pasal 109 (2) hanya apabila tidak cukup bukti atau suatu kejadian ternyata bukan merupakan tindak pidana, maka demi hukum polisi dapat menghentikan penyidikan. Hanya atas dua alasan ini saja polisi dapat menghentikan perkara atas nama hukum. Kasus penganianiayaan Syekh Ali Jaber secara gamblang dan nyata tidak akan kekurangan bukti dan bisa dipastikan perbuatan menyerang dan menganiaya Syekh  merupakan tindak pidana. Jadi kekawatiran polisi akan menghentikan perkara menjadi pupus, tidak ada dasar hukumnya. Menyuruh dan mendorong polisi melanjutkan penyidikan penganiayaan Syekh Ali Jaber seperti mendorong biduk ke hilir. Sedangkan menggertak dengan memperlihatkan kemarahan yang ditujukan kepada polisi agar polisi tidak menghentikan perkara, merupakan perbuatan sia2 yang tidak bermanfaat. Polisi harus membawa perkara kemuka Pengadilan, termasuk kalau seandainya menurut hasil pemeriksaan yang didukung ahli ternyata tersangka gila.


Alasan tersangka gila tidak termasuk kepada alasan polisi dapat menghentikan perkara.

Setelah diproses dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dipimpin oleh majelis hakim, barulah hakim mempunyai kewenangan memutuskan untuk  menghapuskan hukuman kepada terdakwa dengan alasan gila (Pasal 44 KUHPidana).


Menghentikan suatu perkara karena tersangka gila tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Yang ada adalah penghapusan hukuman bagi terdakwa yang gila melalui persidangan yang transparan di depan umum. Polisi tidak punya kewenangan menghentikan perkara, hanya Hakim yang punya kewenangan dalam memutuskan perkara apakah terdakwa tidak dihukum karena gila. Hakimpun tidak sembarangan untuk mengambil kesimpulan keadaan jiwa terdakwa. Biasanya Hakim akan mendatang saksi  ahli kejiwaan untuk didengar kesaksiannya atau bisa saja Majelis hakim mendapat surat keterangan rumah sakit jiwa yang nota bene juga dibuat ahli jiwa. Saksi ahlipun tidak bisa macam2 dengan kesaksiannya karena keterangannya dibuat dibawah sumpah. Kesaksian dengan sumpah tidak hanya berguna bagi saksi ahli religius yang taat, tapi juga mengandung ancaman pidana kalau mencla mencle. Kesaksian palsu bisa diancam dengan maksimal ancaman hukuman pidana penjara selama 7 tahun (Pasal 242 KUHP). Sudah banyak saksi2 yang tidak jujur, ngibul terjerat dengan Pasal ini, sehingga harus mendekam dalam bui.


Setelah melalui proses persidangan yang panjang, disaksikan depan umum dan didukung dengan keterangan saksi ahli, barulah hakim memutuskan sesuai keyakinannya. Hakim dalam menghapus hukuman kepada terdakwa gila mempunyai keyakinan mandiri tidak tergantung kepada siapapun, termasuk keterangan ahli kejiwaan.


Mengamati otoritas kewenangan hakim, proses persidangan terbuka untuk umum yang transparan dan didukung ahli kejiwaan yang kredibel, rasanya teori konspirasi tentang kegilaan/gangguan kejiwaan sebagai modus untuk menutupi perkara, rasanya terlalu berlebihan. Aturan2 hukum pidana dan hukum acara pidana terlalu ketat untuk bisa meloloskan modus bahwa alasan gangguan kejiwaan (gila) bisa digunakan untuk membekap suatu kasus. Kekawatiran kasus AA tidak bisa diungkap secara tuntas dan transparan nampaknya tidak beralasan dan terlalu mengada2.


Langkah selanjutnya mari bersama seluruh komponen bangsa menyimak dan mengontrol episode2 berikutnya kasus penganiayaan Syekh Ali Jaber tanpa pretensi.

Apabila setelah selesai penyidikan, tahap berikutnya proses penuntutan yang dipimpin oleh Kejaksaan, kemudian akan disidang oleh Pengadilan dengan menugaskan Majelis Hakim memimpin persidangan di depan umum. Mari kita percayakan semata2  penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi, Jaksa, Pengacara dan Hakim berdasarkan hukum yang dijunjung tinggi.


 Semoga semua pihak bisa merasakan kehadiran keadilan yang akan diwujudkan kehadapan masyarakat oleh mereka, terutama harapan yang besar ditujukan kepada hakim yang mewakili Tuhan di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun