Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Modus Gila untuk Membekap Kasus Penganiayaan Syekh Ali Jaber

16 September 2020   10:27 Diperbarui: 16 September 2020   10:39 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syekh Ali Jaber (Foto: youtube.com/KOMPASTV)

Hari Minggu tanggal 13 September 2020 Syekh Ali Jaber ditusuk oleh AA (24) di acara wisuda tahfidz Al Qor'an Mesjid Falahudin Lampung. Ketokohan Syekh Ali Jaber sebagai penceramah agama Islam keturunan Arab dan peristiwa penganiayaan dengan menggunakan pisau merupakan kejadian yang "sexy" di mata masyarakat. Perhatian masyarakat langsung bergairah dengan penuh nafsu beralih ke isu penganiayaan ulama.

 Sosok karakter penceramah agama merupakan karakter yang adem, mengajak manusia kepada kebaikan baik di dunia dan akhirat bukanlah karakter yang seharusnya merupakan ancaman bagi siapa saja. Apalagi untuk orang sekelas Syekh Ali Jaber yang reputasinya dalam mengajak ke arah kebenaran telah melampaui sekat2 primordial. Oleh karena itu penganiayaan yang dilakukan oleh AA sulit diterima akal sehat. Akibatnya peristiwa penganiayaan Syekh Ali Jaber menjadi obyek kontroversial dibicarakan ditengah masyarakat menjadi isu yang ditarik kesana sini sekehendak hati. Setiap kelompok masyarakat berusaha menjelaskan dengan kemampuan logika dan kepentingannya masing2. Untuk memenuhi rasa keinginan tahunya agar masuk akal masyarakat berusaha menjelaskan dengan fantasi masing2 sesuai dengan kemampuan jangkauan pemikirannya.

Ada yang mengatakan bahwa peristiwa penganiayaan Syekh Ali Jaber adalah jenis dan bentuk teror baru yang dilakukan oleh kaum teroris. AA dianggap merupakan ujung jaringan teroris yang sedang beraksi menimbulkan rasa takut di tengah masyarakat. Bentuk teror dengan membawa bom dan/atau menyerang aparat keamanan atau pejabat sudah tidak efektif. Selain sulit untuk dilakukan juga polisi anti teroris sudah hapal betul dengan metode ini, sehingga kemungkinan gagalnya sudah dapat dipastikan. Makanya dicari obyek yang relatif lemah pengamanannya dengan alat yang sederhana. Pilihan jatuh kepada ulama dan alatnya cukup dengan sebilah pisau. Ulama jelas lebih lemah pengamanannya dibanding aparat hukum atau pejabat, tapi efek rasa takut yang ditimbulkannya sama bahkan mungkin lebih dahyat. Alat yang digunakanpun tidak perlu bom, cukup sebilah pisau yang sangat gampang cara memperolehnya. Jadi menurut teori ini ulama memang menjadi target karena lemah pengamanannya dan selalu hadir ditengah kerumunan umat. Target yang mudah dan dengan alat yang sederhana (pisau), gampang disembunyikan, tidak menimbulkan rasa kecurigaan yang besar merupakan kunci metode teroris yang baru. Metode baru ini prosentase keberhasilannya tinggi dibanding metode teror selama ini.

Kemudian ada lagi yang menganut teori konspirasi dengan menyatakan peristiwa penganiayaan merupakan pengalihan isu dari pihak penguasa. Kondisi negara Indonesia yang mulai memasuki masa resesi akibat hantaman pandemi covid-19 telah memorat maritkan perekonomian. Rakyat kalangan bawah sudah mulai menjerit menderita untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perhatian yang terlalu fokus atas kegagalan pemerintah mengangkat kondisi ekonomi lebih baik, akan menyeret turunnya kredibilitas penguasa. Menguatnya ketidak percayaan kepada pemerintah perlu untuk dialihkan. Caranya dengan membuat pengalihan isu. Melakukan penganiayaan kepada kelompok ulama akan sangat kuat bisa mengalihkan isu apapun yang sedang berkembang.

Selain itu ada lagi yang percaya dengan peristiwa penganiayaan alim ulama termasuk kasus Syekh Ali Jaber merupakan dampak dari Pilkada serentak yang sedang berlangsung di Indonesia. Berkaca dari pengalaman pada waktu pemilihan presiden yang lalu peristiwa penganiayaan ulama juga banyak terjadi. Kelompok masyarakat yang mempercayai dampak pilkada beranggapan penganiayaan ini bertujuan untuk mengacaukan pesta demokrasi. Dengan kacaunya proses demokrasi akan menggoyahkan kepercayaan masyarakat Internasional kepada negara Indonesia. Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap negara Indonesia yang berdaulat merupakan pintu masuk bagi pembentukan negara baru. Negara baru yang tentunya mempunyai ideologi baru menggantikan ideologi Pancasila.

Mungkin masih banyak lagi teori2 yang berkaitan dengan peristiwa penganiayaan Syekh Ali Jaber, tapi tidak perlu dibahas lebih lanjut. Maksud penjabaran teori2 yang berputar berseliweran dengan peristiwa penganiayaan ingin menyampaikan bahwa betapa kontroversialnya peristiwa penganiayaan ulama Syekh Ali Jaber. Tindak pidana penganiayaan yang seharusnya relatif sederhana dari segi hukum akhirnya menjadi obyek yang rumit, susah dan kompleks serta menyedot perhatian orang banyak.

Akhirnya banyak pihak yang berharap agar para ahli hukum "turun gunung" untuk mengurai benang kusut peristiwa penganiayaan Syekh Ali Jaber. Ikut campur tangannya ahli hukum diharapkan bisa mencerahkan sesuai dengan keahlian yang digelutinya. Apakah ahli hukum dapat membantu dalam hal ini? Jawabnya "absolutly no", ahli hukum tidak akan berdaya, impoten untuk menjelaskannya. Urusan motivasi seseorang melakukan kejahatan atau hal2 yang berkaitan dengan lingkungan kejahatan bukanlah termasuk ranah ahli hukum. Hal2 demikian telah masuk kedalam sekat keahlian "kriminolog". Ilmu kriminologi yang bisa menjelaskan kontroversi yang sedang dibicarakan masyarakat yang haus rasa keinginan tahu yang masuk akal atas peristiwa penganiayaan Syekh Ali Jaber. Kalau diminta kepada ahli hukum, ibarat meminta tanduk kepada kuda.
Oleh karena itu mari kita dengar dan simak para kriminolog menguraikan dengan ilmunya berbicara kenapa AA tega melakukan penganiayaan terhadap Syekh Ali Jabar yang seharusnya dihormati dan dijaga.

Apakah AA Orang Gila ?

Masih berbicara tentang rasa haus akan penjelasan yang masuk akal atas peristiwa penganiayaan Syekh Ali Jaber, tidak ada satupun pihak yang percaya bahwa AA sendirian melakukan perbuatannya. Semua seperti sepakat bahwa dibelakang AA ada kekuatan besar yang mendukungnya. Hal ini mulai dipercaya dan dipicu dari pernyataan awal Syekh Ali Jaber sendiri pada waktu kejadian. Sehingga setiap teori apapun yang muncul mengarah AA adalah "lone ranger" atau pelaku tunggal pasti akan "dibully" rame2. Sehingga waktu ada yang menyampaikan bahwa AA orang gila, karena memang orang gilalah yang sangat mungkin melakukan perbuatan penganiayaan yang tidak masuk akal ini, membuat masalah lebih rumit. Teori AA sebagai orang gila memunculkan teori konspirasi baru yang menyatakan bahwa teori dengan menyatakan AA gila adalah upaya2 pihak tertentu untuk menghentikan kasus penganiayaan berhenti pada diri AA. Ada pihak yang takut kasus AA dibongkar sampai ke ujung2nya, makanya harus dihentikan. Beberapa pihak menjadi emosi menuntut polisi jangan seenaknya menghentikan perkara penganiayaan dengan dalih pelaku gila.

Apakah polisi bisa menghentikan perkara penganiayaan dengan dalih tersangka gila?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita terlebih dahulu siapa yang berwenang untuk melakukan penyidikan kasus penganiayaan.

Sesuai dengan Pasal 1 (1) KUHAP, Polri adalah pihak yang satu2nya mempunyai kewenangan khusus berdasarkan Undang2 untuk melakukan penyidikan atas kasus penganiayaan Syekh Ali Jaber.


Sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Pasal 7 KUHAP Polisi sebagai penyidik telah menggeledah dan menahan AA sebagai tersangka, menyita pisau sebagai alat bukti. Polisi juga punya kewenangan untuk mendatangkan ahli dalam menangani penyidikan perkara. Termasuk ahli jiwa/psikiater untuk memastikan keadaan jiwa tersangka.


Selain itu Polisi juga punya kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan perkara. Dalam kondisi bagaimana Polisi menghentikan penyidikan ? Sesuai dengan Pasal 109 (2) hanya apabila tidak cukup bukti atau suatu kejadian ternyata bukan merupakan tindak pidana, maka demi hukum polisi dapat menghentikan penyidikan. Hanya atas dua alasan ini saja polisi dapat menghentikan perkara atas nama hukum. Kasus penganianiayaan Syekh Ali Jaber secara gamblang dan nyata tidak akan kekurangan bukti dan bisa dipastikan perbuatan menyerang dan menganiaya Syekh  merupakan tindak pidana. Jadi kekawatiran polisi akan menghentikan perkara menjadi pupus, tidak ada dasar hukumnya. Menyuruh dan mendorong polisi melanjutkan penyidikan penganiayaan Syekh Ali Jaber seperti mendorong biduk ke hilir. Sedangkan menggertak dengan memperlihatkan kemarahan yang ditujukan kepada polisi agar polisi tidak menghentikan perkara, merupakan perbuatan sia2 yang tidak bermanfaat. Polisi harus membawa perkara kemuka Pengadilan, termasuk kalau seandainya menurut hasil pemeriksaan yang didukung ahli ternyata tersangka gila.


Alasan tersangka gila tidak termasuk kepada alasan polisi dapat menghentikan perkara.

Setelah diproses dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dipimpin oleh majelis hakim, barulah hakim mempunyai kewenangan memutuskan untuk  menghapuskan hukuman kepada terdakwa dengan alasan gila (Pasal 44 KUHPidana).


Menghentikan suatu perkara karena tersangka gila tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Yang ada adalah penghapusan hukuman bagi terdakwa yang gila melalui persidangan yang transparan di depan umum. Polisi tidak punya kewenangan menghentikan perkara, hanya Hakim yang punya kewenangan dalam memutuskan perkara apakah terdakwa tidak dihukum karena gila. Hakimpun tidak sembarangan untuk mengambil kesimpulan keadaan jiwa terdakwa. Biasanya Hakim akan mendatang saksi  ahli kejiwaan untuk didengar kesaksiannya atau bisa saja Majelis hakim mendapat surat keterangan rumah sakit jiwa yang nota bene juga dibuat ahli jiwa. Saksi ahlipun tidak bisa macam2 dengan kesaksiannya karena keterangannya dibuat dibawah sumpah. Kesaksian dengan sumpah tidak hanya berguna bagi saksi ahli religius yang taat, tapi juga mengandung ancaman pidana kalau mencla mencle. Kesaksian palsu bisa diancam dengan maksimal ancaman hukuman pidana penjara selama 7 tahun (Pasal 242 KUHP). Sudah banyak saksi2 yang tidak jujur, ngibul terjerat dengan Pasal ini, sehingga harus mendekam dalam bui.


Setelah melalui proses persidangan yang panjang, disaksikan depan umum dan didukung dengan keterangan saksi ahli, barulah hakim memutuskan sesuai keyakinannya. Hakim dalam menghapus hukuman kepada terdakwa gila mempunyai keyakinan mandiri tidak tergantung kepada siapapun, termasuk keterangan ahli kejiwaan.


Mengamati otoritas kewenangan hakim, proses persidangan terbuka untuk umum yang transparan dan didukung ahli kejiwaan yang kredibel, rasanya teori konspirasi tentang kegilaan/gangguan kejiwaan sebagai modus untuk menutupi perkara, rasanya terlalu berlebihan. Aturan2 hukum pidana dan hukum acara pidana terlalu ketat untuk bisa meloloskan modus bahwa alasan gangguan kejiwaan (gila) bisa digunakan untuk membekap suatu kasus. Kekawatiran kasus AA tidak bisa diungkap secara tuntas dan transparan nampaknya tidak beralasan dan terlalu mengada2.


Langkah selanjutnya mari bersama seluruh komponen bangsa menyimak dan mengontrol episode2 berikutnya kasus penganiayaan Syekh Ali Jaber tanpa pretensi.

Apabila setelah selesai penyidikan, tahap berikutnya proses penuntutan yang dipimpin oleh Kejaksaan, kemudian akan disidang oleh Pengadilan dengan menugaskan Majelis Hakim memimpin persidangan di depan umum. Mari kita percayakan semata2  penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi, Jaksa, Pengacara dan Hakim berdasarkan hukum yang dijunjung tinggi.


 Semoga semua pihak bisa merasakan kehadiran keadilan yang akan diwujudkan kehadapan masyarakat oleh mereka, terutama harapan yang besar ditujukan kepada hakim yang mewakili Tuhan di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun