Mohon tunggu...
Handoko
Handoko Mohon Tunggu... Programmer - Laki-laki tua yang masih mencari jati diri.

Lulusan Elektro, karyawan swasta, passion menulis. Sayang kemampuan menulis cuma pas-pasan. Berharap dengan join ke kompasiana, bisa dapat pembaca yang menyukai tulisan-tulisan receh saya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup bersama Corona Layaknya Tidur di Bawah Pedang Damocles

6 September 2021   08:53 Diperbarui: 6 September 2021   09:23 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gbr diambil dr wikipedia

Sebentar lagi dua tahun sudah kita hidup bersama dengan Corona. Sementara akhir pandemi masih jauh dari pandangan mata. Ketika vaksinasi belum juga selesai. Varian yang baru dengan genitnya sudah melambai. Melihat itu semua, rasa-rasanya hidup berdamai bersama Corona akan jadi kenyataan. Lalu akankah kita akan terus hidup dalam bayangan kematian?

Perasaan saya ketika Pandemi baru-baru saja terjadi, mengingatkan saya pada cerita tentang Pedang Damocles. Seorang pemuda miskin, yang dijanjikan akan diangkat menjadi raja dengan segala kekuasaan dan kemewahannya, asal dia bisa bertahan menikmati jamuan yang disajikan sang raja.

Penari-penari seksi menari lemah gemulai di depan dia, wanita cantik memijiti kakinya, anggur terbaik dan hidangan termewah disajikan untuk disantap.

Namun satu pun tak ada yang bisa dinikmati oleh Damocles, karena di atasnya tergantung pedang tajam yang hanya ditahan oleh seuntai rambut kuda. Setiap saat rambut itu tentu tak dapat menahan beratnya pedang dan saat itulah kematian Damocles akan datang.

Hidup bersama Corona, di awal-awal pandemi, kira-kira hampir se-intens itu perasaan saya akan ancaman Virus Covid-19 ini. Apalagi saya termasuk orang yang suka menjelajahi web dan mencarin informasi dari berbagai sumber yang ada. Jadi jauh sebelum pemerintah kita mulai menanggapi pandemi ini dengan serius, saya sudah berkeringat dingin membaca berbagai informasi tentang virus ini.

Namun itu dua tahun yang lalu (kurang sedikitlah ya, masih kurang beberapa bulan, ini masih September). Sekarang, justru ketika varian Delta baru saja menerpa negara kita dan korban berjatuhan, jauh lebih banyak dibandingkan dengan gelombang yang pertama (silahkan diperdebatkan apakah gelombang pertama itu pernah usai di negara ini), saat korban yang bertambah sudah menginjak angka puluhan ribu, justru saya tidak seserius dulu lagi dalam menanggapi pandemi ini.

Seperti sudah mati rasa saja terhadap ancaman covid-19 dan jadi biasa saja menjalani hidup bersama Corona. Kebiasaan yang baru untuk memakai masker, sudah jadi makanan sehari-hari. Seakan-akan semuanya sudah kembali jadi normal.

Padahal, virusnya masih bertahan dan masih mengancam.

Apa ada yang salah dengan diri saya? Rasanya tidak, saya yakin hampir semua orang mengalami hal yang sama seperti saya. Inilah memang bentuk mekanisme pertahanan psikologis kita yang membantu kita bisa tetap produktif, tetap aktif, meskipun ancaman kematian, sesungguhnya tidak pernah jauh dari diri kita.

Kematian karena kecelakaan lalu lintas, kematian karena penyakit, kematian karena tindak kejahatan, atau mati karena usia tua. Sebabnya mungkin berbeda-beda, tapi kematian adalah bagian yang pasti, yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan kita sebagai manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun