Mohon tunggu...
Handi Pardian
Handi Pardian Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi dan Peneliti
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pembangunan Ekonomi Indonesia Menuju Era 4.0

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Gambaran Positif Omnibus Law bagi Pesantren

8 September 2020   05:13 Diperbarui: 8 September 2020   05:27 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia menciptakan sudut pandang masyarakat dalam beropini dan mengeluarkan pendapatnya, sehingga menimbulkan pemikiran postif dan negatif yang pada akhirnya menjadi perhatian publik seperti munculnya rancangan Omnibus Law akhir-akhir ini. Istilah ini sebenarnya sudah lama dikenal dalam kajian hukum ketatanegaraan, namun baru menjadi perhatian luas setelah pemerintah mewacanakannya. 

Salah satu aspek yang paling disorot dari Omnibus Law ini adalah RUU Cipta Kerja. Omnibus Law sendiri merupakan suatu skema reformasi regulasi yang diniatkan untuk menyederhanakan beberapa undang-undang yang saling berkaitan dan tumpang tindih menjadi suatu regulasi baru yang terintegrasi dengan Omnibus Law secara sederhana dapat dipahami sebagai penyederhanaan beberapa undang-undang menjadi suatu regulasi terpadu.

Obesitas regulasi di Indonesia selama ini telah berdampak luas terhadap masyarakat, dimana data dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menunjukkan bahwa sejak tahun 2014 hingga bulan November 2018, telah terbit 10.180 regulasi dalam berbagai bentuk dan levelnya. Dapat dibayangkan bahwa dalam kurun waktu sekitar lima tahun saja, lebih dari 10.000 regulasi baru dibuat. Hal ini seringkali menimbulkan tumpang tindih dan ketidakselarasan antara regulasi satu dengan yang lainnya baik dalam level yang setara maupun tidak setara.

Sementara pada perkembangan pembahasan materi RUU Cipta Kerja akhir-akhir ini, juga menyorot terkait isu pesantren lantaran Kementerian Agama (Kemenag) memastikan, bahwa segala bentuk penyelenggaraan pesantren telah diatur oleh UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Artinya, permasalahan terkait pendirian pesantren merujuk pada UU tersebut dan tidak ada aturan tentang sanksi pidana di dalamnya.

Pernyataan Kemenag tersebut dilatarbelakangi oleh viralnya isu di media sosial tentang RUU Cipta Kerja yang akan mengancam eksistensi pesantren dan membuka peluang pemidanaan ulama dan kyai pengasuh pondok tradisional.

Pandangan itu didasarkan pada rencana perubahan pasal 62 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang mencabut kewenangan perizinan dari Pemerintah Daerah.

Dalam Pasal 62 RUU Cipta Kerja disebutkan, bahwa penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Sementara Pasal 71 mengatur bahwa penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin, bisa dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1M.

Padahal, Pemerintah telah memiliki UU Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 secara tersendiri, sehingga penyelenggaraan pesantren akan tetap merujuk pada UU tersebit dan tidak ada sanksi pidana.

UU Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren merupakan UU lex specialis, sehingga berlaku kaidah lex specialis derogat legi generali yaitu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Terkait pendirian pada Pasal 6 UU 18 / 2019 mengatur bahwa pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan / atau masyarakat. Pendirian Pesantren wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil 'alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun