Yel-yel bernada intimidatif, kebencian, hingga teror, selalu bergema di dalam stadion setiap minggunya. Tensi ini pula yang kerap mempengaruhi jalannya pertandingan, hingga independensi keputusan wasit.
Pesan-pesan kebencian yang jauh dari nilai-nilai sportifitas, mengokupasi bendera hingga banner yang terpasang di stadion. Fenomena ini pula yang lazim kita jumpai di tanah air sekarang.
Biasanya di dalam sebuah klub, terdapat dua atau lebih kelompok ultras yang saling bertentangan satu sama lain. Perbedaan cara pandang yang sangat kecil sekalipun, bisa membuat sebuah kelompok suporter mengusung benderanya sendiri-sendiri.
Demi menghindari singgungan antar kelompok ultras di dalam stadion, pihak klub mengakalinya dengan membagi zona tribun. Belakangan, kita mengenalnya dengan istilah curva nord dan curva sud (tribun bagian utara dan selatan).
Polarisasi antar sesama pendukung ini, tak ayal memunculkan riak-riak perseteruan yang memicu konflik. Dari sinilah bentrok antar sesama pendukung dari sebuah klub bisa dijelaskan.
Alih-alih dikesampingkan, di Indonesia kultur semacam ini justru diadopsi bahkan dipelihara sebagai sebuah tata nilai. Seolah sebuah kelompok suporter tak akan mendapat pengakuan, jika belum mengadopsi nilai-nilai tadi.
Tak heran jika di Indonesia dengan mudah bisa kita temui kelompok suporter dengan ciri laku dan penamaan yang serupa dengan kelompok dari negara asalnya.
Istilah-istilah seperti ultras, hooligans, dan lain sebagainya, di sini justru dipakai menjadi sebuah identitas penamaan kelompok suporter, di mana di negara asalnya, istilah-istilah tadi digunakan sebagai labelisasi kelompok suporter yang toksik dan bermasalah.
Labelisasi "curva sud" dan "curva nord" yang di negeri asalnya menjadi zona tribun paling dihindari, di sini justru dianggap paling keren. Bahkan tak sedikit kelompok suporter yang percaya diri menyematkan istilah "curva sud" dan "curva nord", sebagai penamaan identitas kelompok mereka.
Menyedihkan memang, betapa kelompok suporter di negeri ini banyak mengadopsi kultur yang keliru. Atau lebih tepatnya, kita gagal dalam menafsirkan kultur mana yang baik dan yang tak baik untuk kita pakai.
Asal comot, yang penting keren. Seolah jadi parameter suporter Indonesia dalam memakai atribut-atribut kebudayaan suporter luar.