Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Riuh Separuh Jalan Liga Italia

13 Januari 2020   12:56 Diperbarui: 14 Januari 2020   07:09 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kiprah Inter Milan di Serie A, sumber: Kompas.com

Liga Italia sudah separuh jalan, banyak kejutan terjadi di sepanjang setengah musim kompetisi ini bergulir. Beberapa di antaranya cukup membuat kaget, walau tak sampai membuat kita teriak latah, "Ayam-ayam-ayam..."

Sesekali masih ada drama, teriakan-teriakan si ini curang, si itu curang. Namun positifnya, teriakan semacam ini sudah kalah lantang semenjak para penggemar liga ini sadar diri, malu dengan besaran lingkar ikat pinggang.

Jika di Inggris, Liverpool seolah tak lagi memiliki lawan. City sedang bapuk, Chelsea tengah busuk, sementara MU dan Arsenal? Ah, total poin mereka pun jika dijumlahkan hanya unggul satu poin dari raihan Liverpool sekarang.

Sementara di Italia, persaingan justru sedang seru-serunya. Hegemoni sang juara bertahan Juventus, mulai diusik oleh klub yang konon mulai menemukan kembali jati dirinya, Inter Milan. Saya ulangi, Jati diri. Bukan Harga Diri. Mohon maaf, auto-mute, no debat.

Semenjak ditangani oleh sang pelatih yang rambutnya merupakan hasil sulaman, Antonio Conte. Inter Milan seolah menemukan lagi kepercayaan dirinya.

Conte yang dikenal memiliki metode kepelatihan super keras ala-ala ajang Be a Man yang pernah diikuti Lucinta Luna dulu, sepertinya telah cukup berhasil mengubah gaya bermain Inter yang tadinya angin-anginan, menjadi garang bak wajah mantan suami Cut Memey, Jackson Perangin-angin.

Duet Romelo Lukaku dan Lautarto Martinez di luar dugaan, berhasil menjelma menjadi duet maut seperti dalam serial anime Tsubasa Ozora dan Taro Misaki. Keduanya bisa saling melengkapi, saling berbagi peran, mengerti bahkan mengisi satu sama lain.

Jika saja tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya, tentu mereka akan jadi pasangan yang berbahagia, karena setiap akhir pekan bisa saling mengenakan T-shirt couple.

Di tangan Conte, serangan-serangan Inter menjadi lebih hidup di hampir semua sisi. Baik dari sayap, maupun dari tengah. Raihan peringkat dua di tengah musim, merupakan modal yang besar bagi Inter guna menikung Juventus di akhir musim.

Apalagi Juve yang musim ini ditangani oleh Maurizio Sarri, masih belum menemukan pakem bermain terbaiknya, Sarri Ball. Sempat digadang-gadang akan bermain menyerang total, Juve justru masih belum bisa move-on dari bayang-bayang mantan, Massimiliano Allegri.

Lain Inter, lain pula kakaknya, AC Milan. Klub ini ibarat sebuah kapal yang nyaris karam. Alih-alih menambal kebocoran, sang nakhoda justru berpikir untuk menambah lagi muatan. Jangankan untuk menghadapi ombak besar, disenggol ikan cere atau julung-julung saja, kapal Milan bisa langsung goyang. 

Saya pun sudah kehabisan kata-kata untuk menceritakan kemalangan Milan. Maka daripada menambah dosa yang tak perlu dengan menggibahi tim papan tengah, saya memilih mendoakan Milan saja. Eh, tapi buat apa juga? Toh mereka baru saja merekrut "Dewa".

Kejutan yang sebenarnya terjadi justru datang dari klub Lazio dan Atalanta. Keduanya secara tak terduga bisa menyodok ke papan atas klasemen, bahkan menjadi batu sandungan bagi Juve dan Inter yang sedang berebut gelar. Lazio misalnya, permainan efektif mereka bisa menjadi contoh, bagaimana seharusnya klub-klub di Serie A mengarungi kompetisi yang cukup panjang.

Pasukan yang diasuh oleh pelatih rupawan, Simone Inzaghi ini, tak memerlukan banyak penguasaan bola, cukup menunggu dan memberi kesempatan lawan menjalankan skemanya, kemudian beradaptasi dengan skema lawan tadi, dan menjalankan anti-skema itu dengan penuh kedisiplinan. 

Saat bertahan, misalnya. Mereka tak perlu melakukan banyak pergerakan yang menguras stamina, kira-kira seperti strategi Polisi yang melakukan razia liar di ujung tikungan, terhalang-halangi pohon. Tak perlu banyak gerak, cukup menunggu, nanti pelanggar datang dengan sendirinya satu demi satu. Simpel, efektif, tak perlu banyak keringetan.

Saat menyerang pun demikian, Milinkovic Savic dkk tak perlu banyak berlari, apalagi pamer skill, cukup melepaskan umpan satu dua sentuhan yang efisien. Lalu bidik gawang, arahkan ke area yang tak terjangkau kiper lawan. Sesederhana itu.

Tidak perlu dibuat ribet sendiri, seperti normalisasi yang diubah diksi dan penjelasannya berputar-putar jadi naturalisasi, tapi tidak dikerja-kerjakan. Akhirnya, jangankan mencetak gol, yang ada malah keburu disleding balik kan?

Kemudian Atalanta, meminjam istilah Mas Adit dari Casa Milan Podcast dan Mas Ihsan Qodri dari Podcast Ngalcio, tim ini disebut-sebut memiliki strategi "ugal-ugalan". Mereka seolah tak peduli sedang berlaga di kompetisi yang identik dengan permainan pragmatis, hanya mementingkan hasil akhir, peduli setan soal bermain cantik.

Saya sendiri lebih suka menyebut mereka "Tim Serie A rasa EPL", mereka cenderung bermain menyerang, atraktif, walaupun itu berarti, mereka harus mengesampingkan lini pertahanannya sendiri. Namun bagi saya, keputusan ini sangatlah sepadan. 

Terlihat sekali bagaimana para pemain Atalanta bermain tanpa beban, menikmati filosofi sepakbolanya sendiri tanpa ada rasa takut sedikitpun. Mengingatkan saya pada Ustadz Tengku Zulkarnain yang bersumpah, dengan kemampuan menembaknya siap berperang melawan Tiongkok untuk membela NKRI. 

Tentu akan sangat menarik bagi kita melihat pembuktiannya nanti. Pembuktian Atalanta, maksudnya. Bukan pembuktian Ustadz Tengku Zul. Karena saya berharap tidak ada perang dan kekerasan di manapun di bumi Indonesia ini.

Dari kubu sang juara bertahan sendiri, Juventus. Barangkali musim ini merupakan musim tersengit dan tersulit bagi tim yang pernah menjadi "kesayangan wasit' sebelum era diterapkannya VAR itu. Juve seolah mempunyai lagi lawan sepadan pada diri Inter Milan, setelah hampir satu dekade lamanya juara tanpa perlawanan.

Sebagaimana "Emak-emak" pada umumnya. Meski terlihat dari luar, tim berjuluk "Si Nyonya Tua" ini seolah baik-baik saja. Tak demikian halnya dengan apa yang terjadi di dalam.

Masalah demi masalah seolah datang silih berganti, meski tak sampai naik ke permukaan. Pergantian sang juru taktik dari Allegri ke Sarri, misalnya. Awalnya diharapkan bisa mengubah gaya bermain Juve menjadi lebih menghibur, nyatanya Juve malah lebih sering menghibur lawan-lawannya.

Juve ibarat layang-layang, yang meski berhasil terbang, namun tak bisa beranjak ke mana-mana, karena terikat oleh benang yang membuatnya terbang di situ-situ saja. 

Benang itu ialah masa lalu, yang berwujud pada skema permainan pragmatis mereka, menjalar pada sanubari hingga kaki Khedira, Matuidi, sampai Federico Bernardeschi. Sesuatu yang hingga hari ini masih coba dipecahkan jalan keluarnya oleh Sarri melalui rokok kretek di tangannya.

Itulah mengapa meski sudah ada Ronaldo di depan, para Juventini masih saja lebih sering meradang ketimbang bersorak girang. 

Kompetisi masih sangatlah panjang, masih ada sembilan belas pertandingan lagi yang belum dimainkan. Masih ada waktu bagi Inter Milan untuk berbenah, jika mereka memang serius mau menjegal Juventus di musim ini. Begitupun bagi Juventus, yang perlu segera tancap gas, guna menjauh dari kejaran Inter, kemudian mengalihkan fokus ke ajang yang lebih tinggi lagi.

Apapun masih sangat mungkin terjadi, bahkan terhadap hal-hal yang paling mustahil sekalipun. Semisal, Juventus tak lagi keok dan jadi badut di final Liga Champions musim ini, atau Ibra yang mungkin bisa membawa Milan meraih tiket Liga Champions musim depan.

Atau saya sendiri, yang suatu hari nanti bisa hadir ke pernikahan Kak Yulvie dan Mas-mas Romanisti pilihannya itu, menyalami keduanya, berfoto bersama, lalu duduk menyantap menu prasmanan sembari mengelus-elus alis perempuan di samping saya, yang sedari di rumah sudah mengantuk karena bekerja hingga larut malam.

Kak Bianconerria kah itu? 

Perempuan dari masa lalu kah itu? 

 ***
Penulis biasa dihujat di akun Twitter Juventini Garis Lucu @juve_gl, tulisan lain penulis bisa dibaca di Blog penulis handiaditya.com
Ocehan receh penulis juga bisa disimak di kanal Podcast TalkAboutJu di Spotify

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun