Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Juventini Suci, Bernardeschi Penuh Dosa

15 Desember 2019   18:23 Diperbarui: 15 Desember 2019   18:46 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Frederico Bernardeschi. Gambar : suara.com

Saat hendak membeli laptop untuk keperluan pekerjaan di situs jual beli, kita sering dipaksa menimbang-nimbang, mana yang sebaiknya kita pilih; antara jenis prosesor yang kencang, atau kapasitas RAM yang lapang?

Sebagian dari kita mungkin diberkati kemampuan finansial untuk tak bimbang, dan sanggup memilih kedua-duanya bersamaan. Akan tetapi saat kondisi budget tidak memadai, tentu ada salah satu dari keduanya, yang harus dengan sangat terpaksa untuk dikalahkan.

Kondisi ini agaknya tengah dialami oleh pelatih Juventus, Maurizio Sarri. Dibebankan target melampaui raihan pelatih Juventus sebelumnya, Sarri tentu membutuhkan sebuah skuad yang tak hanya sekadar dipenuhi talenta hebat, melainkan juga sanggup memiliki daya tahan mengarungi banyak kompetisi.

Persoalan ini tentu tak cuma masalah stamina semata, tetapi juga soal urusan fokus dan mental bertanding. Keduanya lah yang memainkan peran krusial dan seringkali alpa, terlebih saat Juventus dihadapkan pada partai hidup-mati, final Liga Champions, misalnya. Pertanyaannya sekarang, sudah cukupkah modal yang dimiliki Sarri, menemukan skema yang mampu mendukungnya meraih target-target itu?

Jika menilik skuad Juventus yang ada saat ini, rasa-rasanya Sarri sudah bisa melakukan banyak hal yang ia mau. Ia bisa memainkan skema menyerang 3-4-3, 4-3-1-2, 3-5-2 atau bahkan 1-1-8 sekalipun, rasanya bukan masalah. Persoalannya sekarang, Sarri seperti tampak kesulitan dalam memilih orang yang tepat, untuk menempati pos-pos tertentu.

Pendapat saya tentu sangat subjektif sekali, mengingat sangat tidak fair rasanya, memberi penilaian terhadap skema dan taktikal pelatih dari sudut pandang fans, sebab Sarri tentu memiliki perspektifnya sendiri dalam menentukan komposisi skuad terbaiknya. Memilih Federico Bernardeschi, misalnya.

Harus diakui, pemain ini memang cukup menjanjikan. Ganteng, posturnya ideal, kemampuan olah bolanya juga lumayan memukau. Tak usah muluk-muluk, cukup kalem dan konsisten saja, pasti akan jadi idola bagi para aunty-aunty Juvedonna.

Namun sayang, Bernardeschi justru sering tampil di bawah harapan. Pergerakannya sering tak jelas, umpan-umpan yang dilepaskannya sering tak berfaedah. Kecuali saat ia dilanggar & Juve mendapat tendangan bebas karenanya, sepertinya sudah tak ada lagi kontribusi lain dari Bernardeschi terhadap rekan-rekannya.

Saat Juve melakoni laga kandang melawan Sassuolo awal Desember lalu, Bernardeschi bahkan sempat mendapat cemoohan dari para Juventini yang hadir, padahal saat itu, ia tak sedang mengenakan seragam Inter Milan sambil membawa spanduk "Juve Merda".

Di pertandingan yang berakhir imbang itu, baik Bernardeschi maupun Juventus secara keseluruhan, sebenarnya saling kompak menampilkan performa yang jauh dari kepantasan. Bernardeschi terlalu sering kehilangan bola, sementara rekan-rekannya yang lain, sama tak warasnya. Kalah pressing, kalah antisipasi serangan balik.

Hal ini seharusnya menjadi pertanda, bahwa tak hanya Bernardeschi yang sedang tampil buruk malam itu, melainkan juga skema Sarri secara keseluruhan, yang tak bekerja sesuai dengan yang direncanakan.

Namun seperti lazimnya penonton sepakbola, selalu merasa lebih jago ketimbang para pesepakbola itu sendiri. Banyak dari Juventini yang justru menjadikan Bernardeschi sebagai satu-satunya kambing hitam.

Juventini suci, Bernardeschi penuh dosa. Mereka seolah menutup mata, bahwa Sarri telah keliru memilih skema yang itu-itu lagi, yang malam itu bisa diantisipasi dengan baik oleh para pemain Sassuolo.

Mereka seolah lupa, bahwa masih ada sedikitnya tiga hingga empat pemain Juve lainnya yang tampil buruk malam itu. Buffon misalnya, bermain seperti halnya kiper debutan, yang tak berdaya "diayam-ayamin" oleh anak-anak muda Sassuolo. Tapi siapa yang berani mengkritik Buffon? Tidak ada... Kita semua menutup mata, memaklumi. Sebab orang tua, seyogyanya memang tak boleh dikritik.

Di dunia ini memang tak ada hal yang senikmat dan semudah menyalahkan orang lain, terlebih jika dilakukan dengan tanpa nalar. Itulah mengapa menghujat simpanan ex-Dirut Garuda yang bajingan itu terasa lebih menyenangkan, daripada menghujat si-bajingannya sendiri.

Itulah mengapa lebih mudah menyalahkan pesona Kak Asma Ria (@Bianconerria), daripada mengakui bahwa hati ini saja yang sedang rapuh, kemudian terobati oleh kemunculannya.

Dan itu juga mengapa mengkambing-hitamkan Bernardeschi terasa lebih nagih, ketimbang memberikan penilaian secara adil, terhadap seluruh elemen Juventus yang lain, yang barangkali terdapat idola kita di antaranya.

Bernardeschi memang cukup sial, selalu hadir dan tampil jelek, justru di saat banyak orang yang payah dan gagal seperti kita butuh pelampiasan. Ia seperti sasaran tembak yang enak, lemah, dan yang paling penting, tak bisa balik melawan.

Posisinya yang berada di depan pun kian menambah kesialannya, sebab bagaimanapun, serangan seperti apapun, akan selalu bermuara di depan. Saat siapapun gagal melakukan apa yang seharusnya dilakukan pemain depan, yakni mencetak gol. Maka tak peduli ia adalah seorang Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, atau bahkan Alessandro Del Piero sekalipun. Siapapun ia pasti akan disumpah-serapahi. Apalagi cuma Bernardeschi? Remah-remahan rengginang!

Kalau mau fair, maka seharusnya para Juventini bisa sedikit lebih bijak, utamanya dalam memberikan penilaian terhadap siapapun yang tampil.

Saat Ronaldo bermain buruk, maka jangan menutup mata, mencari-cari kesalahan Marco Pjaca yang bahkan tidak dimainkan. Jika Dybala kambuh penyakit "letoy"-nya, maka tak perlu menyalahkan Emre Can yang selalu sisiran ke arah kanan.

Keputusan Sarri yang senantiasa menyertakan Bernardeschi di starting line-up, memang patut kita pertanyakan. Namun mengkritik keduanya secara berlebihan, tentu bukan sebuah bentuk cinta fans dalam memberikan dukungan.

Baik Sarri dan Bernardeschi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tentu tetap perlu dihargai, karena setidaknya, mereka berdua sudah berjuang habis-habisan, keringetan, bukan sedang nge-prank ojol, apalagi nge-prank bunuh diri di atas lapangan.

Berbeda dengan kita, yang baru berkorban sepuluh ribu rupiah untuk modal kuota streamingan saja, sudah merasa paling pintar dan paling berhak, menjadi Coach Justin gadungan.

***

Penulis biasa dihujat di akun Twitter Juventini Garis Lucu @juve_gl

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun