Anugerah karena saya merasa beruntung bisa jatuh cinta kepada klub, yang memiliki tradisi juara dan mental pemenang.
Namun di sisi lain, saya merasa telah dikutuk, karena sudah sejak lama saya ingin berpindah mencintai klub lain, supaya bisa merasakan euphoria menjadi penguasa Eropa, namun tak bisa.
Ah, andai saja jatuh cinta bisa memilih, saya pasti sudah menjadi seorang Madridista sejak lama.
Kembali ke soal liga membosankan ini, saya bisa mengerti, bahwa tak semua orang bisa terpikat dengan apa yang disuguhkan oleh kompetisi, yang bertahun-tahun dikenal dengan strategi bertahannya yang konservatif.
Jika di liga lain ada anggapan, pertahanan terbaik adalah menyerang total. Maka di liga Italia, yang terjadi adalah sebaliknya.
Liga ini memang tak cocok untuk mereka yang senang dengan permainan cepat, jual-beli serangan, apalagi mereka yang hanya tahu gol dan gol saja.
Di liga ini, kita akan lebih sering disuguhkan permainan bertempo lamban, serangan berputar-putar, dan yang paling menyebalkan tentu; strategi saling menunggu musuh menyerang duluan.
Tetapi di situlah menariknya Liga Italia. Klub sebesar Juventus pun, bahkan bisa sangat kesulitan membongkar pertahanan tim sekelas Genoa. Karena butuh lebih dari sekedar kesabaran dan kecermatan untuk bisa menembus pertahanan lawan, melainkan juga keberuntungan, ketika lawan lengah, melakukan kesalahan, barulah di sana terjadi gol.
Nyaris jarang terlihat, ada sebuah tim yang benar-benar mampu mencetak gol, tanpa campur tangan kesalahan lawannya sendiri. Nyaris tidak ada!
Saya bahkan berani bertaruh, jika Liverpool ambil bagian dalam kompetisi ini, paling banter mereka akan tercecer di posisi 9 atau 10 klasemen, di bawah Atalanta, Udinese, bahkan AC Milan!
Tetapi menariknya, dari liga membosankan ini, lahir para juru taktik hebat yang kiprahnya bahkan diakui di banyak liga terbaik di dunia.