Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Benarkah Liga Italia Sudah Sangat Membosankan?

18 Oktober 2019   10:26 Diperbarui: 22 Juni 2020   22:27 1953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tergelitik dengan cuitan seorang Liverpoodlian di atas, yang menyebutkan bahwa, Liga Italia sudah sangat membosankan sejak terungkapnya skandal Calciopoli di tahun 2006 silam.

Tentu tidak ada yang salah dengan argumen tadi. Sah-sah saja, siapapun bebas berpendapat.

Hanya saja yang membuat saya geli, bukan karena yang mengatakannya adalah seorang fans dari klub yang tak pernah menjuarai liga dalam kurun waktu Calciopoli hingga sekarang.

Namun lebih kepada rasa penasaran, mengapa Liga yang telah banyak menelurkan ahli strategi nomor wahid di liga-liga terbaik dunia ini, bisa dianggap begitu membosankan. Apa yang salah?

Saya mulai mengikuti kompetisi membosankan ini sejak era trio Belanda menggila bersama AC Milan.

Ya, sewaktu kecil saya adalah seorang Milanisti.

Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai jatuh cinta pada sosok pemain berambut perak, berseragam hitam-putih. Namanya Fabrizio Ravanelli. Pemain ini tak terlalu sering pamer skill, tak punya kemampuan berlari kencang.

Tapi sebagaimana striker seharusnya bekerja, ia tahu caranya membuat gol-gol penting. Berkat lelaki ini pula, saya menjadi seorang Juventini sampai hari ini.

Bagi saya, menjadi pendukung setia Juventus, tak ubahnya seperti sebuah anugerah, namun sekaligus juga sebuah kutukan.

Anugerah karena saya merasa beruntung bisa jatuh cinta kepada klub, yang memiliki tradisi juara dan mental pemenang.

Namun di sisi lain, saya merasa telah dikutuk, karena sudah sejak lama saya ingin berpindah mencintai klub lain, supaya bisa merasakan euphoria menjadi penguasa Eropa, namun tak bisa.

Ah, andai saja jatuh cinta bisa memilih, saya pasti sudah menjadi seorang Madridista sejak lama.

Kembali ke soal liga membosankan ini, saya bisa mengerti, bahwa tak semua orang bisa terpikat dengan apa yang disuguhkan oleh kompetisi, yang bertahun-tahun dikenal dengan strategi bertahannya yang konservatif.

Jika di liga lain ada anggapan, pertahanan terbaik adalah menyerang total. Maka di liga Italia, yang terjadi adalah sebaliknya.

Liga ini memang tak cocok untuk mereka yang senang dengan permainan cepat, jual-beli serangan, apalagi mereka yang hanya tahu gol dan gol saja.

Di liga ini, kita akan lebih sering disuguhkan permainan bertempo lamban, serangan berputar-putar, dan yang paling menyebalkan tentu; strategi saling menunggu musuh menyerang duluan.

Tetapi di situlah menariknya Liga Italia. Klub sebesar Juventus pun, bahkan bisa sangat kesulitan membongkar pertahanan tim sekelas Genoa. Karena butuh lebih dari sekedar kesabaran dan kecermatan untuk bisa menembus pertahanan lawan, melainkan juga keberuntungan, ketika lawan lengah, melakukan kesalahan, barulah di sana terjadi gol.

Nyaris jarang terlihat, ada sebuah tim yang benar-benar mampu mencetak gol, tanpa campur tangan kesalahan lawannya sendiri. Nyaris tidak ada!

Saya bahkan berani bertaruh, jika Liverpool ambil bagian dalam kompetisi ini, paling banter mereka akan tercecer di posisi 9 atau 10 klasemen, di bawah Atalanta, Udinese, bahkan AC Milan!

Tetapi menariknya, dari liga membosankan ini, lahir para juru taktik hebat yang kiprahnya bahkan diakui di banyak liga terbaik di dunia.

Lihat saja nama-nama seperti Fabio Capelo, Antonio Conte, hingga sang juru taktik juara dunia, Didier Deschamps. Semuanya adalah alumni liga yang bikin ngantuk ini.

Memang, secara fair harus saya akui, bahwa liga ini masih sangat jauh tertinggal, utamanya dari Premier League, La Liga, bahkan Bundesliga sekalipun.

Liga ini terlambat berubah, ketika di luar sana, industri sepakbola sudah sangat jauh berlari. Liga ini bobrok luar dalam, banyak campur tangan mafia, bandar judi, bahkan hingga politisi, mirip-miriplah dengan kompetisi di negeri +62.

Parahnya lagi, Liga Italia kian jauh tertinggal, ketika belakangan mulai terkuak, bahwa masih banyak klub yang berkompetisi di dalamnya, masih dibiayai oleh utang dan dikelola dengan sangat ugal-ugalan.

Dan di sinilah lagi-lagi saya bersyukur menjadi seorang Juventini, karena faktanya, klub yang saya dukung ini justru menjadi pionir, dalam hal pengelolaan sepakbola modern di negeri Pizza itu.

Liga Italia kini sedang berbenah total, setidaknya begitu menurut FIGC, PSSI-nya mereka. Entah apa yang dibenahi, saya tidak tahu. Karena untuk mengurus persoalan rasial saja, sepertinya mereka tak pernah benar-benar serius. Insiden pelecehan rasial masih terus berulang dan berulang di hampir setiap musim. Memalukan.

Kalau sudah begini, jangankan bisa mengembalikan citra Serie A menjadi liga terbaik di dunia lagi, tidak tersalip Liga Portugal pun rasanya sudah syukur.

Namun meski saat ini Liga Italia hanya meninggalkan Juventus sebagai satu-satunya raksasa di dalamnya.

Tetap saja, tensi rivalitas akan selalu tetap berdenyut. Aroma-aroma dendam, kebencian para fans, selalu mewarnai di hampir setiap laga-laga besar.

Itu menunjukkan bahwa liga ini masih begitu diminati, dicintai, sekalipun sudah sebegitu sangat membosankannya.

Musim lalu, Liga Italia terberkati dengan kedatangan Cristiano Ronaldo ke Juventus. Semenjaknya, banyak orang mulai mau melirik kembali, liga yang tadinya sudah tak diperhitungkan ini. 

Kebintangan Ronaldo seolah mampu membuat liga ini kembali berkilau. Karena setelah sekian lama, baru sekali ini lagi, liga ini menemukan daya pikatnya yang baru.

Tetapi akan sangat konyol jika Liga Italia hanya bergantung pada kemapanan Juventus dan citra Ronaldo.

Liga ini harus tetap berbenah, begitupun semua klub yang terlibat di dalamnya. Inter Milan harus kembali konsisten, AC Milan perlu segera mencari pendanaan baru, lalu Lazio, Roma serta Napoli, juga tak boleh kalah menemukan sumber-sumber pemasukan potensial bagi klubnya.

Adalah benar, liga ini sudah sangat membosankan jika Juventus yang melulu menjadi kampiunnya.

Tetapi membiarkan Juventus menang tanpa mendapatkan perlawanan berarti, inilah justru level kebosanan yang paling mengkhawatirkan.

Karena ketika sudah tidak ada lagi persaingan dalam sebuah kompetisi, maka kita cukup menunggu waktu saja, sampai kebosanan tadi menjalar hingga ke rivalitas. 

Dan tebak apa yang terjadi jika rivalitas sudah tidak ada lagi? Itu berarti kompetisi memang sudah tak memiliki nyawanya lagi. Mati. Terhenti.

Sama persis seperti takdir juara liga bagi Liverpool.

***

Penulis bisa disapa di akun Twitter @juve_gl

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun