b. Solusi
Peningkatan Kapasitas Aparat Pajak, Pelatihan dan pendidikan berkelanjutan kepada petugas pajak dalam bidang akuntansi internasional dan teknik valuasi transfer pricing sangat penting.
Penguatan Kerja Sama Internasional, Indonesia aktif dalam inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan dari OECD untuk mendorong transparansi dan pertukaran informasi antarnegara.
Pemanfaatan Teknologi, Penggunaan sistem pelaporan digital, seperti e-TP Doc untuk dokumentasi transfer pricing, serta pemanfaatan big data dan artificial intelligence dalam mendeteksi anomali transaksi.
6. Dimensi Filosofis dan Yuridis Transfer Pricing
Transfer pricing tidak hanya menjadi persoalan teknis fiskal semata, tetapi juga berkaitan dengan filosofi dasar keadilan dalam sistem perpajakan. Dalam filsafat hukum pajak, terdapat prinsip equity (keadilan) dan certainty (kepastian hukum) yang harus dijaga oleh negara. Keadilan pajak mencakup asas ability to pay yang menggariskan bahwa subjek pajak yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi harus membayar pajak yang lebih besar. Dalam konteks ini, transfer pricing yang bersifat manipulatif secara langsung melanggar asas tersebut karena perusahaan multinasional, yang notabene memiliki kapasitas ekonomi tinggi, justru menghindari beban fiskal melalui rekayasa harga.
Secara yuridis, pengaturan transfer pricing menuntut harmonisasi antara hukum nasional dan prinsip-prinsip perpajakan internasional. Di Indonesia, Pasal 18 ayat (3) UU PPh menjadi dasar intervensi fiskus dalam transaksi afiliasi. Namun, kompleksitas pengaturan ini juga harus mempertimbangkan non-discrimination principle yang menjadi bagian dari konvensi OECD dan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Artinya, DJP harus berhati-hati agar tidak mendiskriminasi wajib pajak luar negeri hanya karena kecurigaan transfer pricing, tanpa didasarkan pada analisis berbasis data dan prinsip arm's length.
7. Dimensi Sosiologis dan Etika Bisnis
Transfer pricing juga harus dipahami dalam bingkai sosiologis, yakni bagaimana perilaku perusahaan multinasional membentuk budaya kepatuhan atau sebaliknya, menciptakan resistensi terhadap kewajiban fiskal. Budaya korporat yang menekankan profit-oriented semata cenderung mengabaikan aspek tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), termasuk dalam hal kontribusi pajak. Di sinilah letak urgensi etika bisnis dalam manajemen perpajakan.