"Cinta ke mana kau pergi?"
Pagi ini aku terbangun dengan suasana kabut masih mengelilingi udara di sekeliling rumahku, antara ngantuk dan memaksa untuk membuka mata yang semalam tersedu menahan tangisan karena anakku pasti terbangun jika aku menjerit sejadi-jadinya.
Aku buatkan kopi dan secangkir teh hangat untuk mengawali hari hari indah kita. Disini, tepatnya hari ini adalah awal hariku bahagia bersamanya melewati janji-janji yang terpatri di sanubari hingga ke hulu jantung ini.
"Selamat pagi Cinta!" Serunya dengan semangat membuncah seperti secercah rindu dalam harap. Aku lambaikan senyuman pertanda setuju dalam sapa.
Cinta, dia pergi dengan sosok bayangan yang tertinggal menghitam di dalam jejak langkah di depan rumahku, kuharap semua baik-baik saja.
Siang jam berdentang menunjukan matahari telah berada di puncak tertinggi di belahan bumi sebelah sini. Aku terbangun dalam buai dan sesekali menoleh ke arah pintu lalu ke jendela semua terasa baik-baik saja.
Pagi, siang berlalu semua terasa sama bagiku. Malam pun tiba dengan menawarkan gemerlap bintang dan bulan bergelantungan mengelilingi sebuah harap.Â
Gelisah, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Getaran jiwa menggeliat ingin memenuhi semua harap itu. Tidak peduli apapun yang akan terjadi aku akan berteriak semampuku.
Aku berteriak mengucapkan kata-kata yang terhenti dalam tangisan, aku panggil dia dengan seluruh jiwa raga dan suara yang tersisa.