Peluncuran Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) oleh Bank Indonesia pada tahun 2017 menjadi salah satu langkah strategis untuk memperkuat sistem pembayaran nasional Indonesia yang selama ini bergantung pada infrastruktur asing. Di balik inisiatif ini, tersimpan upaya besar untuk membangun kemandirian ekonomi digital serta memperkuat kedaulatan nasional dalam ranah digitalisasi keuangan. Dengan lebih dari 100 juta kartu GPN yang telah beredar dan jutaan merchant yang terhubung (Bank Indonesia, 2023), GPN kini menjelma sebagai infrastruktur penting dalam ekosistem pembayaran domestik.
Namun, signifikansi GPN tidak berhenti pada konteks nasional. Dalam dinamika ekonomi politik internasional, khususnya di kawasan Asia Tenggara, GPN memiliki potensi strategis sebagai instrumen integrasi pembayaran lintas negara melalui inisiatif ASEAN Payment Connectivity (APC). Integrasi ini tidak hanya penting bagi efisiensi transaksi keuangan antarnegara anggota, melainkan juga untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin ekonomi digital di kawasan.
Sebelum GPN diperkenalkan, sistem pembayaran Indonesia sangat bergantung pada jaringan internasional seperti Visa dan Mastercard. Dua entitas ini menguasai lebih dari 80% volume transaksi kartu di Indonesia (Wicaksono, 2021). Ketergantungan tersebut menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari tingginya biaya transaksi akibat pungutan lisensi dan switching fee ke luar negeri (Prasetiawan, 2020), hingga kekhawatiran terkait keamanan data pengguna. Situasi ini menciptakan ketidakseimbangan dalam arsitektur keuangan nasional yang tidak sepenuhnya dikendalikan oleh otoritas dalam negeri.
GPN hadir sebagai jawaban terhadap tantangan tersebut. Dengan memfasilitasi proses routing dan clearing transaksi secara domestik, GPN berhasil menurunkan biaya operasional bagi pelaku usaha dan meningkatkan efisiensi sistem pembayaran nasional. Dalam jangka panjang, hal ini membuka ruang bagi Indonesia untuk mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran serta meningkatkan kontrol terhadap arus data finansial domestik.
Potensi GPN semakin mengemuka ketika dikaitkan dengan agenda besar ASEAN untuk membangun konektivitas sistem pembayaran antarnegara. Beberapa negara telah memiliki sistem nasional masing-masing, seperti PromptPay di Thailand dan PayNow di Singapura, yang kini mulai terkoneksi lintas batas. Integrasi sistem-sistem ini diharapkan menciptakan ekosistem pembayaran regional yang lebih efisien, inklusif, dan mandiri dari dominasi aktor-aktor global.
Dalam konteks ini, Indonesia melalui GPN memiliki peran krusial. Posisi Indonesia sebagai ekonomi terbesar di ASEAN memberi bobot politik dan ekonomi yang tidak kecil dalam perumusan arsitektur pembayaran regional. Konektivitas GPN dengan sistem domestik negara lain akan memperkuat daya tawar Indonesia dalam menentukan standar teknologi dan mekanisme tata kelola sistem pembayaran regional yang lebih adil.
Namun, proses integrasi ini tidak bebas hambatan. Dari sisi teknis, diperlukan harmonisasi sistem keamanan, protokol komunikasi, hingga kebijakan perlindungan data antarnegara yang masih sangat beragam (ASEAN Secretariat, 2021). Sementara itu, dari sisi politik, persaingan antara jaringan pembayaran global seperti Visa, Mastercard, dan UnionPay juga menjadi faktor yang memengaruhi arah integrasi ini. Jaringan-jaringan tersebut menawarkan kenyamanan dan cakupan luas, namun dengan risiko ketergantungan struktural yang tidak sejalan dengan visi kedaulatan digital negara-negara ASEAN.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, keunggulan GPN sebagai sistem pembayaran nasional yang dikembangkan secara independen menjadi modal penting. Salah satu manfaat paling nyata dari integrasi GPN secara regional adalah potensi penurunan biaya transaksi lintas negara. Saat ini, transaksi lintas batas di kawasan ASEAN masih bergantung pada jaringan global seperti SWIFT atau sistem kartu kredit internasional, yang mengenakan biaya hingga 5–7% per transaksi (World Bank, 2022). Dengan skema konektivitas langsung antar-bank sentral, biaya tersebut dapat ditekan menjadi di bawah 1%, yang tentu akan memberi dampak positif terhadap efisiensi ekonomi regional.
Efisiensi ini tidak hanya berdampak pada perusahaan besar atau institusi keuangan, tetapi juga pada pelaku UMKM dan masyarakat umum yang sering melakukan transaksi lintas negara, termasuk remitansi dan perdagangan daring. Jika implementasi integrasi sistem pembayaran ini berjalan optimal, maka bukan tidak mungkin konektivitas digital ASEAN akan berkembang menjadi model kerja sama regional yang mampu menyaingi dominasi sistem global.
Indonesia perlu memanfaatkan momentum ini dengan mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan keberhasilan GPN dalam proses integrasi regional. Pertama, penguatan koordinasi antar-instansi sangat penting. Bank Indonesia perlu bersinergi erat dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta otoritas lain yang terkait dengan diplomasi digital dan perlindungan data. Kerangka kerja lintas sektor harus dibangun untuk menjamin bahwa upaya integrasi GPN tidak hanya dilihat sebagai proyek teknologi, tetapi sebagai bagian dari strategi kebijakan luar negeri.
Kedua, pembangunan kapasitas teknologi harus menjadi prioritas. Investasi dalam infrastruktur digital, pengembangan sumber daya manusia, serta riset dan inovasi teknologi finansial perlu ditingkatkan agar GPN tidak hanya kompatibel dengan sistem negara lain, tetapi juga mampu bersaing dari sisi kecepatan, keamanan, dan kenyamanan.