Opini- Selama modernisasi dan digitalisasi pendidikan, kita sering kali terpaku pada satu tujuan yang membatasi: angka. Nilai rapor, skor ujian, dan hasil penilaian nasional semuanya menjadi indikator utama kinerja pendidikan. Tanpa disadari, para guru dituntun untuk memprioritaskan pencapaian angka daripada pertumbuhan manusia. Pendidikan sejati berfokus pada penanaman nilai-nilai kehidupan, alih-alih sekadar menghafal informasi. Secara hakikat kita memahami bahwa pendidikan difokuskan pada satu arah yaitu pendidikan yang berkarakter. seperti halnya di ungkapan dalam oleh salah satu filsuf dan tokoh pendidikan Amerika, John Dewey mengatakan bahwa:
"Tujuan sebenarnya dari pendidikan adalah untuk menghasilkan warga negara yang berkarakter baik, bukan hanya bernilai tinggi.”
Guru masa kini, menghadapi tantangan yang signifikan. Di satu sisi, mereka bertugas menurunkan target akademik dari institusi dan individu. Di sisi lain, mereka mengkaji bagaimana anak-anak berjuang dengan arah, semangat, dan bahkan proses pembelajaran itu sendiri. Inilah saatnya guru kembali memasuki ranah utamanya: bukan hanya sebagai guru, tetapi juga sebagai tokoh dan pemimpin.
Seperti halnya, ungkapan dari tokoh Pendidik dan psikoterapis dari Amerika Karl Menninger. Mengatakan bahwa:
"Apa yang dilakukan seorang guru lebih penting daripada apa yang diajarkannya."
Pendidikan seharusnya menjadi tempat pengembangan. Tempat di mana anak-anak tumbuh menjadi manusia seutuhnya orang yang mengerti bagaimana merasa, berpikir, dan berperilaku dengan tepat. Setiap pelajaran seharusnya menginspirasi siswa untuk berpikir kritis, bertanya, berdiskusi, dan menemukan makna di dalamnya. Fisika lebih dari sekadar rumus; fisika juga tentang penalaran dan ketekunan. Struktur kalimat hanyalah salah satu aspek bahasa; empati dan komunikasi juga penting. Sejarah lebih dari sekadar mempelajari tanggal; sejarah adalah pelajaran tentang kemanusiaan dan identitas. Sebagaimana ungkapan dari Filsuf Yunani Aristoteles, mengatakan bahwa:
“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali.”
Tidak perlu meninggalkan dunia akademis untuk mengalihkan fokus dari statistik ke nilai. Hal ini berarti menjadikan dunia akademis sebagai alat, alih-alih tujuan itu sendiri. Lulusan sekolah yang sesungguhnya adalah anak-anak yang jujur, pekerja keras, sadar sosial, dan memiliki prinsip-prinsip kemanusiaan. Semua ini hanya mungkin terjadi jika para pendidik bertindak sebagai mentor dan panutan yang memahami bahwa setiap kontak adalah kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai. Sebagaimana hal demikian, di pertegas oleh Pendidik dan antropolog Amerika Margaret Mead, menjelaskan bahwa:
“Anak-anak harus diajari cara berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan.” Hal yang sama di pertegas oleh Linda Conway, seorang pendidik, mengatakan bahwa;
"Yang penting bukan apa yang dituangkan ke dalam diri siswa, tapi apa yang ditanamkan."
Mari kita mengadopsi sudut pandang yang berbeda tentang keberhasilan belajar, guru, pendidik, dan pemangku kepentingan lainnya dalam pendidikan. Alih-alih membiarkan anak-anak hanya berfokus pada nilai ujian, tanamkan nilai-nilai dalam diri mereka. Karena anak-anak akan siap menghadapi rintangan hidup serta ujian sekolah setelah nilai-nilai tersebut dikembangkan. Khusus kepada masyarakat luas: mari kita hargai proses pembelajaran, bukan hanya hasil akhirnya. Mari kita dorong para pendidik untuk menjadi lebih dari sekadar instruktur. Karena nilai-nilai yang kita tanamkan saat ini adalah fondasi bagi masa depan bangsa, dan pendidikan adalah kewajiban bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI