Mohon tunggu...
Abdul Hamid Al mansury
Abdul Hamid Al mansury Mohon Tunggu... Ilmuwan - Apa aja ditulis

Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Spirit Idul Adha di Era New Normal

1 Agustus 2020   21:53 Diperbarui: 1 Agustus 2020   21:55 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun tahun ini umat Islam di Indonesia tidak dapat melakukan rukun Islam yang terakhir yaitu ibadah haji di tanah suci Makkah, Saudi Arabia akibat pandemi covid-19. Tetapi kita masih bisa melakukan ibadah yang lain yang bisa dilakukan dirumah masing-masing sebagaimana itu merupakan protokol covid-19 yang harus menjadi kebiasaan di era new normal.
 

Pada hari Rabu, 8 Dzul Hijjah 1441 H atau bertepatan dengan 29 Juli 2020 M kita sebagai umat Islam yang berada diluar kota suci Makkah (tidak melakukan ibadah Haji) disunnahkan berpuasa tarwiyah. 

Dalam kalender Hijriyah, Dzul Hijjah merupakan bulan ke dua belas atau akhir tahun kalender Hijriyah. Karena merupakan akhir tahun dan insya Allah kita akan menghadapi tahun berikutnya, maka sepatutnya kita mem-flash back apa yang sudah kita lakukan selama sebelas bulan yang sudah kita lalui.

Flash back di bulan Dzul Hijjah layaknya perusahaan yang akan tutup buku di akhir tahun tepatnya di bulan Desember. Tentu sebelum betul-betul tutup buku, kita harus introspeksi atau muhasabah (menghisab/menghitung diri sendiri) tentang apa yang sudah kita lakukan dan dari perhitungan itu akan menjadi cerminan bagi kita apa yang akan dilakukan ditahun berikutnya tentu dengan usaha dan harapan akan melakukan yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

Maka tidak salah lagi puasa sunah H-2 idul adha dinamakan puasa sunah tarwiyah. Kata tarwiyah satu akar kata dengan riwayah yang diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi riwayat yang bermakna cerita terun-temurun atau sejarah. Tarwiyah berasal dari kata tarwi yang artinya "menapak".

Menapak berasal dari kata tapak yang berarti bekas jejak yang ditinggalkan. Jadi, sepatutnya kita melihat riwayat hidup kita atau menapak apa yang sudah kita tapaki (muhasabah/introspeksi). Itu sejalan dengan perintah agama bahwa orang Islam harus menghisab diri sendiri sebelum datang yaumul hisab (hari hisab/kiamat/akhirat).

Ada sebuah hadist yang mengatakan bahwa "barang siapa yang berpuasa sunah tarwiyah maka akan diampuni dosa satu tahun yang telah terlewatkan". Mungkin jika hadist diatas hanya kita pahami secara "kulit" teks, maka kita hanya akan melakukan puasa dan mungkin akan mendapatkan pahala tanpa ampunan dari Sang Maha Pengampun segala dosa.

Melihat dosa diri sendiri itu tidak mudah karena melihat dosa diri sendiri lebih sukar daripada melihat dosa orang lain. Seharusnya, sembari berpuasa kita harus melihat riwayat hidup kita atau menapak tilas diri sendiri tentang kesalahan atau dosa apa yang sudah kita lakukan mengingat manusia tidak ada yang sempurna dan tidak terlepas dari kesalahan atau perbuatan dosa.

Kemudian mohonlah ampunan kepada Tuhan Yang Maha Pengampun jika itu haqqullah (hak Alla/dosa kepada Allah) dan jika itu haqqul adami (hak manusia/dosa kepada sesama manusia) maka minta maaflah kepada sesama serta berkomitmen untuk tidak mengulangi dosa yang serupa dikemudian hari. Itulah esensi dari hadist tersebut.

Kemudian pada hari berikutnya 9 Dzul Hijjah, kita juga disunahkan berpuasa arafah. Dinamakan puasa arafah karena bertepatan dengan orang yang sedang melaksanakan rukun ibadah haji yaitu wuquf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw "haji itu arafah". Jadi yang dilakukan jamaah haji yaitu menginap meskipun tidak sampai semalam atau berhenti/berdiam diri sebentar di Arafah.

Arafah selain sebagai nama tempat melaksanakan ibadah haji ia juga memiliki arti yang beragam diantaranya adalah mengetahui, bijak dan adat yang lazim diketahui demikian juga dengan wuquf memiliki arti berhenti, berdiri, terputus dan penundaan.

Sebagai manusia yang beriman terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa diri kita, siapa Tuhan kita, kenapa kita diciptakan, mengapa kita dijakan sebagai manusia, apa hak, tanggung jawab, tugas, peran dan kewajiban kita sebagai manusia dimuka bumi, apa dan siapa disekitar kita serta harus mengetahui hal-hal lainnya.

Untuk mengetahui hal itu tentu harus wuquf. Yaitu berhenti sejenak untuk berkontemplasi apa yang seharusnya kita lakukan, berdiri sebentar dengan tidak melangkah untuk mempersiapkan langkah-langkah berikutnya, memutus dari segala aktivitas yang kita lakukan sehari-hari untuk kemudian munyambungnya serta menunda segala kesenangan hidup yang bersifat sementara untuk mendapat kesenangan abadi.

Simpelnya ketika kita wuquf kita bertanya "what's next? Apa selanjutntya menuju jalan yang lurus?" Itulah instrumen penting yang harus dilakukan pada H-1 Idul Adha.

Setelah tarwiyah dan arafah dilanjutkan pada 10 Dzul Hijjah mendirikan sholat idul adha akan tetapi itu semua sifatnya individual. Setelah ibadah individu dilanjutkan ibadah sosial yaitu menyembelih hewan kurban. Bukan darah, daging atau yang lainnya dari hewan kurban yang akan sampai kepada Tuhan, melainkan ketakwaan kita karena kurban bermakna mendekatkan diri.

Berkurban setelah sholat idul adha itu hanya simbol bahwa Allah SWT tidak hanya menghendaki kesalehan individu tetapi juga kesalehan sosial. Artinya, Allah SWT menginginkan sholat idul adha dan berkurban itu terejawantah dalam kehidupan sehari-hari.

Akhirnya, kita akan merayakan hari raya idul adha dalam keadaan berdampingan dengan pandemi covid-19 yang tak kunjung usai. Sudah satu semester Indonesia dilanda covid-19, banyak pekerja, buruh dan lapisan masyarakat yang berekonomi lemah "diwuqufkan" dirumah sehingga tidak ada lagi pemasukan yang berakibat lemahnya daya beli akhirnya perekonomian nasional terancam depresi.

Keadaan demikian "diarafahi" pemerintah dengan menggelontorkan bansos triliunan rupiah. Apakah bansos itu cukup mengangkat perekonomian nasional? Tentu tidak, karena peran pemerintah saja tidak cukup.

Keadaan demikian harus juga "diarafahi" oleh kita atau mereka yang mampu secara ekonomi dengan cara "berkurban" sebagian dari harta yang dimiliki kepada mereka yang lemah, karena bisa jadi mereka yang lemah dimasa pandemi akan terpaksa melakukan misalnya pencurian demi sesuap nasi untuk menyambung hidupnya.

Jadi, semangat berkurban di hari raya idul adha inilah yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari terutama di era new normal. Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun