Mohon tunggu...
Hamdanul Fain
Hamdanul Fain Mohon Tunggu... Penulis - Antropologi dan Biologi

Membuat tulisan ringan. Orang Lombok.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Berburu Makanan Darurat di Malam Gempa Berkekuatan Magnitudo 7 di Lombok Tiga Tahun Lalu

11 Februari 2021   09:26 Diperbarui: 11 Februari 2021   09:40 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir tiga tahun berlalu, gempa magnitudo 7 di Lombok, masih menyimpan kenangan haru. Total korban meninggal mencapai 564 orang (Data update 1 Oktober 2018). Waktu itu kebetulan saya sedang berada di Kabupaten Lombok Utara, di daerah Kayangan.

Saya masih terbilang beruntung, karena malam itu baru selesai makan dan hendak mencuci tangan ketika akhirnya gempa mulai mengguncang. Berbeda dengan masyarakat sekitar yang kebanyakan belum makan. Perut keroncongan awalnya memang tertutupi takut dan sedih, akan tetapi begitu malam semakin pekat, tuntutan nutrisi tubuh tidak dapat dipungkiri. Saya yang sudah makan malam saja merasa lapar lagi, apalagi mereka yang belum makan.

Berbekal titah dari warga yang lebih tua, jadilah kami yang muda-muda ini beraksi turun ke kebun. Kebetulan lapangan tempat kami berkumpul berada di dekat area bercocok tanam. Ubi, singkong, dan kacang tanah terkumpul dengan cepat. Kayu bakar diperoleh agak jauh ke arah terjal bukit di balik areal tanaman. Kami memunguti pelepah, sabut dan sisa batok kelapa.

Langit cerah dan angin bertiup kencang. Saya tidak sempat membawa jaket ataupun sarung. Benar-benar badan kerempeng ini sangat kedinginan malam itu. Sedikit tertolong dengan nyala api unggun yang dibuat. Beruntung malam itu tidak turun hujan, walaupun sempat gerimis sebentar. Satu-persatu warga mendekat ke arah api, guna menghangatkan tubuh.

Sambil menghangatkan diri, kami siapkan makanan darurat tadi. Ubi, singkong, dan kacang tanah dibenamkan di bawah bara api, kemudian ditumpuk dengan batu kerikil agar tidak gosong.

Di depan api unggun, kami menghibur diri dengan cerita-cerita, sesekali cerita mengharukan, sesekali cerita mistis, dan sesekali cerita humor yang mengundang tawa. Beberapa kali tawa kami disambut gempa susulan yang getarannya tidak besar.

Intensitas gempa kecil memang cukup tinggi karena terus terjadi dengan jarak jeda beberapa menit saja, bahkan sampai subuh tetap seperti itu. Catatan terakhir yang sempat saya baca, jumlah gempa susulan sebanyak 447 kali.

Api unggun mulai meredup perlahan. Tersisa bara api merah yang masih mampu menghangatkan badan. Mulailah satu persatu tumpukan ubi, singkong, dan kacang tanah dicungkil dengan kayu. Beberapa yang belum matang diletakkan kembali ke bara api. 

Kayu, sabut dan pelepah kelapa kembali ditumpuk agar api unggun menyala. Di depan nyala api, kami beramai-ramai menyantap makanan darurat yang diperoleh dari kebun milik orang. Ya, namanya saja darurat, namun sungguh terasa begitu nikmat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun