"Pokoknya lima juta! Take it or leave it!"Â
"Gak bisa kurang, Om?"Â
"Enak aja! Emangnya apaan? Si Beni malah mau ngasih mahar lebih gede. Cuman aku lebih percaya sama kamu. Aku percaya, kamu gak bakal sia-siain dia."
Ronald pun berusaha menghitung-hitung berapa kekurangan mahar yang harus dipenuhinya. Garuk-garuk kepala tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada, ketombe ambyar yang berjatuhan.Â
"Deadline sore ini, jam 5. Kalau kau gak muncul, aku terima mahar si Beni atau siapa pun yang bisa ngasih mahar lebih gede," Om Johan menutup pembicaraan.Â
Waktu berpacu. Laptop, dispenser, buku. Semua yang bisa jadi duit dijual. Demi memenuhi mahar. Sembari melepas barang untuk beberapa gepok duit demi mahar, Ronald membayangkan sang idaman hati. Mulus, seksi, suara merdu, de el el. Pokoknya top markotop dah.Â
"Sejuta ya," Om di toko laptop menawar dengan harga sadis.Â
"Tambah lagilah, Om. Masa laptop masih bagus begini cuma dihargai segitu."
Nego demi nego, barang-barang pun berpindah tangan. Duit mahar pada akhirnya terkumpul. Lima juta. Tak kurang, tak lebih.Â
Tapi, waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih lima lima.Â
"Ah, kau tiba juga. Hampir aku terima mahar si Beni," kata Om Johan.Â