Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru, Ajian Tapak Guru, Wulan Umbara

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sugar Coating di Kantor, Bagaimana Pimpinan Harus Menyikapinya?

3 Oktober 2025   12:43 Diperbarui: 3 Oktober 2025   12:43 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixland via kompas.com

Di dalam dunia kerja, komunikasi adalah jembatan antara atasan dan bawahan. Namun, tidak semua bentuk komunikasi dapat berlangsung secara lugas dan transparan. Ada kalanya seorang bawahan menyampaikan laporan, saran atau opini dengan kata-kata yang terdengar manis dan menghibur, meski realitanya tidak seindah itu. Belakangan, fenomena ini dikenal dengan istilah sugar coating.

Sugar coating biasanya dianggap merugikan bagi sesama rekan kerja, tetapi sesungguhnya sugar coating juga dapat berdampak buruk bagi pimpinan jika tidak lekas ditangani. Maka perlu diulas pula bagaimana cara pimpinan menghadapi sugar coating dengan bijak.

Sugar coating pada dasarnya adalah cara memaniskan kenyataan pahit agar terdengar lebih ringan di telinga. Kata-kata manis yang ditaburkan sekilas terdengar sopan, tetapi jika dibiarkan terus-menerus, gaya komunikasi ini bisa menutupi fakta penting yang dibutuhkan pimpinan untuk mengambil kebijakan. Dalam jangka panjang, sugar coating juga bisa menjadi budaya yang tidak sehat karena seseorang lebih sibuk mencari cara terdengar menyenangkan ketimbang menyampaikan kebenaran.

Sebagai pimpinan, tentu tidak mudah menghadapi kondisi ini. Di satu sisi, kita ingin menjaga keharmonisan tim. Di sisi lain, kejujuran sangat penting untuk perbaikan dan pengambilan keputusan. Maka, diperlukan keseimbangan antara kesopanan dan ketegasan dalam menyikapi bawahan yang gemar sugar coating.

Memahami Motif di Balik Kata-Kata Manis

Langkah pertama yang perlu dilakukan seorang pimpinan adalah memahami motivasi mengapa bawahan memilih untuk sugar coating. Tidak semua orang melakukannya dengan maksud negatif. Ada yang hanya ingin menjaga perasaan atasan atau takut terlihat terlalu kritis. Bisa jadi pula, bawahan merasa tidak aman menyampaikan pendapat jujur karena khawatir menimbulkan konflik. Dalam konteks ini, sugar coating lahir dari rasa sungkan, bukan niat buruk.

Namun, tak dapat dipungkiri ada juga bawahan yang menggunakan sugar coating secara strategi demi keuntungan pribadi. Mereka ingin terlihat selalu mendukung atasan, tampil ramah, bahkan menjilat demi mendapatkan posisi idaman atau promosi. Jenis sugar coating seperti inilah yang perlu diwaspadai. Jika tidak ditangani dengan tepat, seorang pimpinan bisa salah membaca situasi, mengambil keputusan yang tidak akurat, atau bahkan terjebak dalam pujian semu.

Untuk itu, pimpinan perlu lebih jeli membaca pesan tersirat di balik kata-kata manis bawahan. Tidak cukup hanya mendengarkan, tetapi juga menggali lebih dalam.

Memahami motif juga membantu pimpinan menentukan sikap. Jika sugar coating muncul karena bawahan takut salah bicara, solusinya adalah menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman untuk mengutarakan pendapat. Tetapi jika muncul karena motif menjilat, pimpinan perlu menegur dengan tegas agar tidak menjadi budaya yang merusak integritas tim.

Membangun Budaya Keterbukaan

Setelah memahami motif, langkah selanjutnya adalah membangun budaya komunikasi yang lebih sehat. Seorang pimpinan idealnya menekankan bahwa kejujuran lebih dihargai daripada pujian yang kosong. Hal ini bisa disampaikan secara eksplisit dalam rapat, refleksi atau evaluasi.

Selain ucapan, pimpinan juga harus memberi contoh nyata. Misalnya, ketika menerima kritik dari bawahan, jangan buru-buru defensif atau merasa tersinggung. Sebaliknya, tunjukkan keterbukaan dengan menanggapi secara positif. Sikap ini akan membuat bawahan merasa aman untuk berbicara jujur. Jika atasan bisa mencontohkan bahwa kritik bukan ancaman, melainkan bahan perbaikan, maka bawahan pun akan belajar untuk tidak lagi berlindung di balik sugar coating.

Dalam beberapa situasi, sugar coating ringan bisa dipandang sebagai etika komunikasi untuk menjaga hubungan. Namun, pimpinan harus mampu menarik garis batas, sugar coating yang masih dalam tahap kesopanan boleh ditoleransi, tetapi jika sudah berubah menjadi penjilatan demi kepentingan pribadi, itu harus segera dihentikan. Dengan ketegasan semacam ini, pimpinan bisa menjaga tim agar tetap berintegritas tanpa kehilangan kehangatan dalam hubungan kerja.

Dari sudut pandang pimpinan, menghadapi bawahan yang gemar sugar coating adalah tantangan komunikasi yang tidak bisa diabaikan. Kuncinya ada pada keseimbangan dalam memahami motif dengan empati, sekaligus menjaga ketegasan agar budaya kerja tetap sehat. Dengan membangun suasana yang aman untuk berbicara jujur, memberi contoh dalam menerima kritik, seorang pimpinan dapat menciptakan lingkungan kerja yang transparan, produktif, dan saling percaya.

Sugar coating mungkin terasa manis di telinga, tetapi keputusan besar dalam dunia kerja tidak bisa hanya bergantung pada kata-kata manis. Seorang pimpinan yang bijak tahu bahwa kejujuran, meski pahit, jauh lebih bermanfaat bagi perkembangan tim.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun