Pengantar Buku Antologi Puisi “Tak Seindah Puisi”, Katamu!
Halimi Zuhdy
Puisi lahir dari imaji-imaji yang berkeliaran, juga lahir dari realitas-realitas sekitar yang diwarnai dengan khayal. Kata-katanya; kadang kaku walau tidak beku, kadang cair meskipun tidak mencair. Ia selalu hadir dalam lintasan senjarah, menjadi juang walau tidak pernah berjuang, menjadi senjata walau tidak mampu mematikan, atau hanya menjadi teman dalam sepi bagi yang selalu merasa kesepian. Ia selalu unik dalam kehadirannya.
Puisi, tidak sebatas kata yang diikat kalimat, dipoles dengan titik dan koma, yang menjadi bait-bait indah disanggul larik, yang liriknya membariskan rasa, membuat prasa sendiri dalam tubuhnya. Fisiknya; kadang kurus, kadang gemuk, terkadang sedang. Kurus, gemuk dan sedang tidak membuatnya harus diet, tambah makana pala ginutrisi, ia selalu menjadi dirinya sendiri. Ia memliki cara gaya yang berbeda; metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
Rimanya berkelindan di antara huruf huruf, bermusik ria antara kata; di awal, di tengah, kadang di akhir. Terserah ah, di mana pun ia suka intuk berima. Karena dalam puisi tak ada paksaan, apalagi harus dipaksa, ia adalah sungai bandang yang bisa menghentak, ia laut yang mampu mesunami, kadang angin yang semilir, kadang pula kapas yang manut pada angin. Terserahlah!!. Wajahnya juga berbeda-beda; di awali huruf sanggul, baris, di akhiri titik, kadang juga koma, atau tanpa titik dan koma.
Kata-kata dalam puisi selalu menjadi pengantin, dari pinangan (diksi) sang kekasih, menuju pelaminan dengan wajah (tipografi) cantik, malam-malamnya dihias dengan imaji-imaji (auditif, visual, taktil) cinta. Ketika mentari sudah tanpak, batinnya memburu; sense (makna), feeling (rasa), tone (nada), dan intention (amanat).
Antologi puisi Mahasiswa BSA ini hadir dikala kata-kata lagi gersang, kalimat-kalimat lagi germercik, bait-bait puisi menyepi, menepi, entah karena tak ada seoggok emas untuk dijual, atau memang rasa sudah tak puitis, atau memang tak lagi butuh puisi untuk mengalunkan; rindu, cinta, benci, dan keangkuhan. Saya dikagetkan dengan puluhan judul yang indah, dari mahasiswa yang lagi menguapkan hasrat untuk bertingkah.
Antologi puisi ini adalah rekaman peristiwa yang yang menarik untuk dikaji, diteliti, direnungi, dan diapresiasi. Bagaimana parapenyair mempermainkan kata biasa, menjadi bernada, dipenuhi nafas makna. Kata-kata mengalir deras dengan deburnya yang menari, seperti; Ungkapan Cintaku Padamu,Bangkai, Al Farooghu,Senyum Sampul Biru,Jajaran Patah Hati, Aku sang Penari,Rasa Itumendatangiku,Pencarian,Kehilangan,Sepiku, dan puisi-puisi lainnya.
“Riuh,Akuinginsepi, laluakupergi,Bising
Akuingintenang, laluakuberlari
Pergimencarisepiwalausuny,Berlari