Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Empati Komunitas Sosial, Ucapan Husnul Khotimah dan Turut Berduka di Media Sosial

1 Agustus 2021   01:42 Diperbarui: 30 Agustus 2021   23:07 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita duka mulai menghiasai layar LCD gadget di kota kita, dan Indonesia umumnya, setiap hari. Akan menjadi langgam biasa. Berbahayanya, warga pun kelihatannya tidak seperti awal-awal pandemi dulu yang berusaha sibuk mencari tahu, si Fulan kira-kira di mana ya tertular virus tersebut. Tujuannya untuk berjaga-jaga supaya tidak tertular. Sekarang tampak menjadi biasa saja.Pada beberapa tulisan sebelumnya, saya pernah menyampaikan, alam sekarang melakukan evaluasi. Yang kuat bertahan yang lemah akan tumbang. Agak kasar memang. Tapi sebenarnya ini ungkapan kekesalan kepada mereka yang tampak tidak percaya covid ini ada.

Berusaha melonggarkan prokes. Tetap berkeliaran. Ngotot memenuhi area publik dan tempat ibadah. Serta melakukan branding menolak vaksin atas dasar keharaman atau ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

Saya sangat percaya sains, studi, dan hasil riset. Bahwa yang parah dan berujung pada kematian adalah orang-orang yang belum vaksin. Jika ada yang positif tapi sudah vaksin umumnya tidak parah. Jika ada yang meninggal jumlahnya pun sangat kecil dibanding yang positif atau berujung kematian karena tidak vaksin.

Sangat bersyukur sebagai ASN kami mendapatkan vaksin gelombang kedua setalah nakes. Bahkan dulu saya katakan andai vaksin itu berbayar saya akan berikhtiar untuk membeli.

Lain cerita. Karena berita duka ini naik indeksnya, ada yang menarik saya amati. Dulu, ada kelompok yang sibuk mengurus masalah urusan fiqih umat hingga meluruskan kata-kata khusnul khotimah yang harus dibuang huruf (k) nya hingga menjadi husnul khotimah. Karena memang adanya perbedaan arti yang bertolak belakang dari keduanya. Dan sekarang tampaknya hasil meluruskan itu berhasil. Rata-rata pengucapannya sudah benar husnul khotimah; berakhir dengan baik. Sementara khusnul khotimah adalah berakhir hina.

Namun di luar ilmu fiqih tadi saya lebih tertarik dengan waktu penggunaan kata dan awalan 'semoga' tersebut. Semoga itu adalah kata do'a dan harapan. Artinya netizen berharap yang meninggal berakhir dengan baik proses sakaratul mautnya.

Yang jadi masalah, yang di do'akan berakhir dengan baik itu orangnya sudah meninggal. Artinya buat apa berdo'a agar orang meninggal berakhir dengan baik, sedangkan kan dia sudah melewati proses tersebut. Bahkan ada yang sudah terhitung hari. Dan kita tidak tahu berakhir baik apa tidak ketika Izrail mencabut nyawanya.

Artinya, yang dido'akan husnul khotimah itu harusnya justru kita-kita yang hidup ini nanti supaya bisa berakhir/meninggal dengan baik, bukan yang sudah meninggal. Tapi masalah muncul lagi. Jika Anda mengucapkan husnul khotimah kepada yang masih hidup orang bisa salah paham karena sepertinya malah mendo'akan kawan sendiri cepat meninggal.

Itulah, bagi yang sudah biasa dan lama berinteraksi, langsung atau via medsos. Saya hampir jarang bahkan tidak pernah latah mengucapkan ungkapan duka di medsos ketika ada orang meninggal. Bagi saya, itu basa basi dan hanya sebuah peristiwa lumrah yang pasti akan dialami setiap makhluk yang bernafas. Andai ada do'a pun terkhusus itu saya ucapkan syirriyah tidak jahriyah, bahkan dalam hati saja. Toh saya meminta bukan kepada Dzat yang Maha Tuli, apalagi kepada manusia.

Pada tahap berikutnya dalam suasana ini selain husnul khotimah, ada lagi satu kalimat ucapan yang secara kritik historis juga bermasalah, yaitu ucapan; turut berduka cita. Dalam hal ini, tentu kita tidak bicara mengenai benar atau tidaknya ucapan tersebut. Tapi lebih berfokus kepada relevansi penggunaan kata dan kalimat yang jika didalami cenderung muncul akibat budaya dan kebiasaan yang sudah biasa dilakukan orang-orang terdahulu, lalu diikuti, menjadi kebiasaan, dari generasi ke generasi, sekedar untuk bersimpati dan empati kepada korban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun