Pernahkah Anda merasa datang ke kantor dengan badan lengkap tapi jiwa rasanya tertinggal di rumah? Target menumpuk, rapat hanya berisi angka, bahkan senyum rekan kerja pun terasa kaku.
Saya pernah mengalami fase itu. Rasanya lelah bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati. Saat itulah saya mengenal istilah burnout atau kelelahan total yang membuat kerja jadi beban, bukan lagi tantangan.
Awalnya saya berpikir burnout muncul karena kerjaan terlalu banyak. Tapi ternyata, bukan soal jumlah tugas, melainkan suasana kerja yang dingin dan serba kontrol.
Tidak ada ruang apresiasi, tidak ada empati. Saat itu saya mulai bertanya, “Apa benar organisasi hanya tempat mengejar target?”. Hingga kemudian saya mengenal pendekatan yang disebut human relations di mata kuliah Komunikasi Organisasi.
Human Relations: Menemukan Manusia di Balik Pekerjaan
Human relations sebenarnya sederhana konsepnya, menekankan pada bagaimana kita memperlakukan orang di tempat kerja sebagai manusia, bukan mesin produksi. Saya teringat pada cerita seorang teman kerja yang hampir menyerah karena ditekan terus soal performa.
Manajer barunya tidak menambah tekanan, tetapi duduk mendengarkan ceritanya. Hanya itu, mendengar dengan empati yang penuh ketulusan. Hasilnya luar biasa, dia kembali bersemangat dan justru melampaui target.
Ada tiga hal yang saya pelajari dari pengalaman itu. Pertama, komunikasi terbuka. Rasanya lega ketika bisa bicara jujur tanpa takut dihakimi. Kedua, empati. Terkadang kita hanya butuh ada yang mau mendengarkan, bukan langsung menilai. Ketiga, pengelolaan konflik. Konflik pasti muncul, tapi kalau dihadapi dengan dialog sehat, hasilnya memperkuat tim.
Maslow dan McGregor: Menyadarkan Organisasi
Saya jadi teringat pada teori hierarki kebutuhan Maslow. Burnout sering muncul ketika kebutuhan dasar di tempat kerja diabaikan: rasa aman, rasa memiliki, dan rasa dihargai.
Begitu ini tidak terpenuhi, motivasi pun luntur. Sebaliknya, ketika organisasi memberi penghargaan, mendukung, dan membuka ruang berkembang, burnout bisa ditekan.