Mohon tunggu...
Hakim Maulani
Hakim Maulani Mohon Tunggu... wiraswasta -

Give a man a fish, you will feed him for a day. Give a man a gun, others will feed him for a lifetime.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menampik Karunia Tuhan

16 Juni 2014   00:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:35 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa maksudnya? Presiden Joko Widodo akan memimpin negeri muslim terbesar di dunia tanpa Islam?

Menurut Trimedya Panjaitan, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) akan melarang munculnya peraturan daerah baru yang berlandaskan syariat Islam. Ditambahkan pula bahwa syariat islam bertentangan dengan Pancasila dan UUD’45. Mengenai syariat kristen, yahudi, budha, hindu apakah juga bertentangan dengan Pancasila dan UUD’45? Tidak diterangkannya. Kalau-kalau pembaca bertanya, siapa gerangan Trimedya Panjaitan? Dia adalah Ketua Tim Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK. Keterangan di atas disampaikan secara resmi olehnya pada hari Rabu, 4 Juni 2014, di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Terus terang, sikap dia berlebihan menurut saya.

Sebabnya begini. Syari’ah, kadang ditulis syari’a adalah kata dari bahasa Arab yang artinya jalan menuju tempat keluarnya air. Dalam al-Quran kata syari’a muncul empat kali, dua sebagai kata benda dan dua sebagai kata kerja, dan Allah Swt. menggunakannya sebagai kata yang menandakan sesuatu yang merupakan berkah dan karunia, seperti “jalan lurus” menuju sumber kebaikan. Jadi, dalam konteks agama artinya “jalan lurus yang harus diikuti.” Secara sederhana artinya Islam.

Ada enam prinsip syari’ah. Kesemuanya berasal dari al-Quran, yang dipercayai kaum muslim sebagai perkataan Tuhan. Semua aturan agama Islam harus sejalan dengan enam prinsip syari’ah ini. Prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut:

1.Hak perlindungan hidup.

2.Hak perlindungan keluarga.

3.Hak perlindungan pendidikan.

4.Hak perlindungan agama.

5.Hak perlindungan kepemilikan.

6.Hak perlindungan martabat manusia

Hak-hak ini diberikan kepada umat manusia, dan jangan kaget kalau keenam prinsip ini kedengarannya hampir sama dengan hak-hak yang menyertai Konstitusi Amerika Serikat (AS), kecuali bahwa hak-hak dalam prinsip syari’ah lahir seribu tahun lebih awal dari Konstitusi AS. Jadi, Konstitusi AS mempunyai landasan prinsip-prinsip yang islami dibanding dengan Konstitusi kita yang menurut Ketua Tim Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Enam prinsip disebutkan di atas adalah inti dari syari’ah. Istilah “hukum syari’ah” adalah salah kaprah, karena syari’ah bukan hukum, tetapi sebuah ketetapan prinsip-prinsip. Umat islam mengistilahkannya sebagai“Jalan Tuhan.”

Namun, bagaimana kita mengetahui Jalan Tuhan? Kaum muslim terdahulu mencarinya di Quran dan tradisi Nabi Muhammad s.a.w. (hadits dan sunnah) untuk menjelaskannya. Mereka menulis berbagai buku bersifat pemahaman (fiqih) tentang bagaimana bertindak yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka tidak selalu sepakat, fiqih bukanlah satu keputusan, tetapi berbagai perbedaan opini dan pertentangan aturan dan perdebatan para cendekiawan muslim.

Kadangkala, syari’ah merujuk pada keseluruhan kandungan teks al-Qur’an, hadits (perkataan Nabi Muhammad s.a.w.), dan kitab-kitab literatur pemahaman/fiqih yang ditulis cendekiawan-cendekiawan muslim di abad pertengahan. Sementara, dua pertama yaitu al-Quran dan hadits adalah dasar pedoman hidup bersifat kekal, sedangkan fiqih tidak.

Fiqih dapat berkembang dan berubah sesuai waktu dan keadaan, ia mempunyai metodologi internal agar itu bisa terjadi. Tidak statis, tapi fleksibel. Tidak ada agama yang bisa berumur 1400 tahun dan merupakan agama kedua terbesar dan terpesat perkembangannya di dunia jika tidak fleksibel dan dapat menyesuaikan diri.

Sedangkan, perpanjangan tangan dari karunia Tuhan ini adalah ahkam, hukum positif, perundangannya, aturan boleh atau tidaknya sesuatu dalam menuntun kita mencari ridha Allah Swt. Seseorang bisa saja taat hukum tetapi tidak mendapat ridha Allah Swt. apabila ia tidak tulus, berat sebelah, atau mengorbankan hukum utama untuk hukum yang lebih sepele. Apalagi untuk orang yang mengabaikan ahkam sama sekali, sama artinya dengan melawan kehendak Tuhan.

Perselisihan kadang terjadi mengenai suatu hukum, dan masing-masing menjalankan apa yang dia anggap benar dan masing-masing tetap mendapatkan berkah dan ridha Allah selama setiap pihak tekun dan tulus dalam mencari dalil atau dala’il, yaitu tanda-tanda dan petunjuk menuju kehendak Allah Swt. Begitu juga dengan seseorang yang jujur dan tulus mengikuti dalil tetapi tidak mencapai hukum, Allah Swt. tetap ridha dengannya. Berbeda dengan orang yang menetapkan hukum, secara buta menjalankan hukum, tetapi tidak peduli dengan tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk atau dalil, tidak mendapatkan berkah. Hanya menjalankan hukum tanpa dalil adalah kesewenang-wenangan, masa-bodo, dan congkak.

Syari’ah adalah prinsip-prinsip agama. Sebagai seorang muslim saya pribadi tidak mengharuskan pemerintah menetapkan apa yang disebut “hukum syariat” tetapi pemerintah tidak menentang syari’at islam. Tidak ada hal mengenai “negara Islam” dalam al-Qur’an, dan Nabi Muhammad saw. tidak pernah mencoba mengimplementasikan apa yang disebut “negara Islam”, masyarakat di bawah kepemimpinan beliau menjalankan beragam agama.

Tradisi dunia Islam adalah pemisahan antara institusi yang memerintah dengan institusi yang mengembangkan agama. Mereka saling mengawasi dan menyeimbangkan. Walaupun tidak ada peradaban yang bebas dari konflik, tetapi sejarah kekuasaan islam selalu multi-agama, multi-kultural, dimana agama minoritas bisa melaksanakan aturannya sendiri.

Beberapa ayat dalam Al-Qur’an berisi tentang toleransi beragama, seperti: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu..” (11:118), “.. menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal..” (49:13), “Tidak ada paksaan untuk agama.. “ (2:256), dan kita bisa mengatakan , “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” (109:6).

Islam juga mengandung beberapa konsep yang konsisten dengan demokrasi modern, diantaranya syura (konsultasi) dan akad (kontrak antara yang memerintah dan yang diperintah). Dengan kata lain, kaum muslim bisa nyaman mengikuti aturan negara dan pemerintahannya.

Istilah “Islam sebagai agama dan negara” menjadi sangat populer di tahun 1920-an, sebagai reaksi atas penjajahan dunia Barat atas dunia Muslim. Dan, kesalahan ini nampaknya yang akan diulang pemerintahan Jokowi dan PDIP-nya bilamana memerintah. Dengan mengusung "pluralisme" mereka menyuarakan hak-hak yang lebih besar di atas negeri mayoritas muslim dengan fokus kaum non-muslim, bukan kaum muslimnya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun