Mohon tunggu...
Hakiem Syukrie
Hakiem Syukrie Mohon Tunggu... -

periset pada Bayt Al-Qur'an & Museum Istiqlal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Lelatul Qodar-an dan Jenggilat Muslim Kota

2 Juli 2016   10:15 Diperbarui: 2 Juli 2016   10:23 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua dasawarsa terakhir, ada fenomena keber-agama-an baru yang dilakukan muslim Indonesia khususnya muslim urban (kota).  Terjadinya pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, yang saya sebut Lelatul Qodaran. Dengan akhiran –an. Istilah ini terinspirasi dari status kawan “ah mau lelatul qodaran dulu, mumpung diajak

Istilah lailatul qodar sudah akrab di telinga kaum muslim. Wa bilkhusus saat bulan Ramadhan. Kata turunannya yaitu lailatul qodaran dengan akhiran–an.Lidah muslim kampong lebih akrab menyebutnya Lelatulqodaran. Kata ini memiliki arti yang sama dengan kliwonan-an, agustus-an, pasar-an, lebar-andan lainnya. Bermakna aktifitas di malam lailatul qodar; aktifitas untuk mendapatkan fadhilah lailatul qodar. Malam seribu bulan. Istilah lainnya yaitu Iktikafdan Qiyamul Lail.

Jangan dibayang iktikaf seperti kita-kamu. Bukan Iktikaf yang hanya dilakukan menjelang dan selepas salat rawatib. Bukan iktikaf saat kita suka. Ini iktikaf anti-mainstrem. Bisa full 24 jam di masjid. Bahkan ada yang baru keluar masjid malam takbiran. Subhanallah.

Model seperti itu Sebenarnya di kitab-kitab klasik sudah banyak diutarakan, namun belum familiar bagi kebanyakan muslim Indonesia. Belum mentradisi.

Kalau ada yang berkata“Saya mau iktikaf di masjid Sana” atau “Saya mau Qiyamul Lail di masjid Sini”. Itu bermakna mereka mau Lelatul Qodaran.

Ada yang berangkat sebelum waktu isyak supaya bisa ikut jamaah Isyak dan taraweh. Dilanjut iktikaf di masjid dengan dibarengi tilawah (ngaji quran), dzikir, disusul salat malam berjamaah, salat subuh berjamaah. Pulang.

Ada yang salat traweh dekat rumah, kemudian cussiktikaf entah di masjid mana sampai subuh. Ada yang berangkat pukul 01.00 dinihari untuk bisa dapat jamaah salat malam hingga subuh.

Lelatul qodaran bisa berangkat sendiri maupun berkelompok. Biasanya berkelompok alias berjamaah. Bersama teman sepengajian. Bersama keluarga sampai bayinya juga dibawa. Kalau dilihat seperti bedolrumah semalam. Membawa kasur, selimut, bantal, cemilan, makanan, minuman, baju ganti. Bahkan kini, mulai ngetrenLelatul Qodaran menggunakan tenda mini.

Biasanya, malam-malam ganjil selalu dipenuhi jamaah. Siap-siap tidak kebagian tempat untuk tidur. Siap-siap antri panjang di kamar mandi dan tempat wudhu. Siap-siap rebutan shof paling depan. O ya, jangan lupa sandal diamankan sendiri.

Siapa mereka? Secara ekonomi, mereka tergolong kelompok menengah. Kelas menengah. Akhir romadhon bertepatan dengan libur kerja orang tua. Libur juga anak-anak mereka dari sekolah maupun pesantren. Tidak ada lagi materi yang dikejar untuk lebaran. Lelatul qodaran menjadi ajang pelepas penat dan mengisi kebersamaan dengan melakukan aktifitas positif.

Terkadangsebuahgerakankeagamaan tidak selalu dari kelasatas atau bawah.Bisa juga dari kelasmenengah.

Kapan mulai? Fenomena ini bermula dari acara-acara mabit.Berkembang menjadi mabit di bulan Ramadhan. Khususnya sepuluh hari terakhir. Berjalan sejak sekitar 15an tahun yang lalu. Semoga satu-dua puluh tahun mendatang bisa menular ke kampung-kampung. Sebuah tradisi baik yang tidak bisa dibendung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun