Mohon tunggu...
M Hajril
M Hajril Mohon Tunggu... Hajril

Bachelor Of Social Science

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kecerdasan Buatan dan Kehidupan Sosial: Antara Kemudahan, Ketimpangan, dan Transformasi Budaya

8 Juli 2025   13:15 Diperbarui: 8 Juli 2025   13:19 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) tak lagi hanya milik laboratorium teknologi atau industri digital besar. Kini, AI telah meresap ke kehidupan sehari-hari masyarakat: dari algoritma media sosial yang mengatur apa yang kita lihat, asisten virtual di ponsel, hingga sistem rekomendasi belanja dan pendidikan daring. Namun, di balik semua kemudahan yang ditawarkan, perlu dilihat lebih jauh bagaimana AI memengaruhi struktur sosial, pola interaksi, dan relasi kuasa dalam masyarakat.

Potret Sosial Baru
Di rumah tangga perkotaan, AI hadir dalam bentuk smart home, chatbot layanan pelanggan, hingga fitur auto-correct yang membentuk cara kita berkomunikasi. Di sektor pekerjaan, AI digunakan dalam proses rekrutmen, evaluasi kinerja, bahkan pemetaan risiko kerja. Dalam pendidikan, AI mempercepat sistem belajar mandiri dan personalisasi kurikulum.

Namun, tidak semua kelompok masyarakat merasakan manfaat yang sama. Masyarakat kelas menengah atas cenderung lebih adaptif dan memiliki akses ke teknologi terbaru, sementara kelompok marginal mungkin justru mengalami kesenjangan informasi, digital divide, dan keterpinggiran teknologi. Fenomena ini memperkuat struktur sosial yang sudah timpang sebelumnya.

Analisis Sosiologis: Menafsirkan AI dalam Lanskap Sosial

Dalam perspektif sosiologis, kehadiran AI bukan sekadar revolusi teknologi, melainkan juga sebuah transformasi sosial yang menyentuh struktur, budaya, dan relasi kuasa dalam masyarakat. AI menjadi agen perubahan sosial yang mengintervensi kehidupan manusia secara halus namun sistematis. Salah satu dampak utamanya adalah terjadinya perubahan pola interaksi sosial. Jika sebelumnya relasi dibangun atas dasar kedekatan emosional dan relasi sosial langsung, kini algoritma dan mesin pencari mengambil alih sebagian peran itu. Individu dipertemukan oleh preferensi digital dan jejak perilaku daring mereka, bukan lagi karena ruang sosial bersama. Dalam istilah sosiologi digital, ini menciptakan “ruang sosial semu” yang tetap berinteraksi namun minim koneksi afektif yang mendalam.

Selain itu, AI mempercepat fenomena individualisasi dan alienasi sebagaimana pernah dikritisi oleh para pemikir seperti Karl Marx dan Emile Durkheim. Marx melihat bahwa dalam masyarakat kapitalis, manusia bisa terasing dari proses produksi dan makna kerja. Dalam konteks AI, alienasi ini bertambah karena banyak aktivitas manusia yang mulai diambil alih oleh sistem otomatis, membuat individu kehilangan hubungan langsung dengan hasil kerja atau proses sosialnya. AI memberi efisiensi, tetapi di sisi lain meminimalkan sentuhan manusia, bahkan dalam bidang pelayanan publik, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini menyebabkan banyak orang merasakan keterasingan merasa dibantu, tapi tidak benar-benar diperhatikan.

Dalam struktur sosial yang lebih luas, kehadiran AI juga memperkuat ketimpangan sosial digital. Siapa yang memiliki akses terhadap AI, data, dan teknologi tinggi, akan lebih unggul dalam banyak aspek kehidupan mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga kekuasaan simbolik di ruang digital. Ini menimbulkan "kelas teknologi" baru yang tidak hanya menguasai alat, tetapi juga mampu membentuk opini publik, mengatur informasi, dan mempengaruhi perilaku massa melalui algoritma yang bersifat invisibel. Di sinilah kita bisa melihat bahwa AI bukan hanya alat netral, tetapi dapat menjadi instrumen kekuasaan mewujudkan bentuk baru dari dominasi simbolik ala Pierre Bourdieu, di mana preferensi dan cara berpikir masyarakat perlahan dibentuk oleh sistem yang mereka tidak sadari.

Lebih jauh, AI juga memicu pergeseran nilai-nilai budaya. Dalam masyarakat yang semakin bergantung pada teknologi, nilai-nilai seperti kesabaran, dialog, dan kerja sama kolektif cenderung tergantikan oleh nilai-nilai efisiensi, kecepatan, dan otomatisasi. Dalam masyarakat yang dulunya menekankan nilai-nilai komunal dan gotong royong, muncul kecenderungan untuk mengandalkan sistem digital yang personal, cepat, dan praktis. Ini mengubah habitus sosial masyarakat dalam jangka panjang cara berpikir, merasa, dan bertindak menjadi lebih individualistis dan transaksional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun