Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gondang Batur: Mozaik Kehidupan Agraris di Lereng Merbabu

10 Juli 2025   21:23 Diperbarui: 11 Juli 2025   14:33 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri : Hamparan Tanaman Holtikultura, pagi hari di Gondang - Batur, Kaki Gunung Merbabu, Semarang.

Mari sejenak hentikan rutinitas Anda, seduh kopi kesukaan, dan biarkan aromanya memenuhi ruangan. Pejamkan mata, tarik napas dalam-dalam, dan bayangkan diri Anda berada di kaki Gunung Merbabu.

Di sana, terhampar sebuah permukiman yang senantiasa berdetak mengikuti irama alam, sebuah tempat bernama Dusun Gondang, Desa Batur. Secara geografis, titik koordinat yang sempurna untuk menemukan ketenangan dar keselarasan. Mari kita mulai.

***

Di kaki Gunung Merbabu, terhampar sebuah permukiman yang senantiasa berdetak mengikuti irama alam, Dusun Gondang. Secara geografis, di kaki gunung Merbabu, hamparan tanaman - hultikultura membentang bagai permadani hijau yang disulam benang-benang kehidupan, di mana setiap bulirnya adalah metafora dari harapan dan kerja keras.

Atmosfer di Gondang bukanlah sekadar udara yang dihirup, melainkan sebuah esensi kultural yang pekat, seolah setiap hembus napas membawa serta aroma tanah basah dan desir angin yang berbisik kisah-kisah leluhur.

Kehidupan masyarakat Gondang adalah cerminan otentik dari adagium "hidup itu nrima ing pandlum (menerima apa adanya)", namun dengan interpretasi yang dinamis. Mereka bukan pasrah,melainkan adaptif.

Aktivitas sehari-hari adalah simfoni dari gerakan yang ritmis dan tujuan yang jelas. Pagi buta, ketika kabut masih enggan beranjak dari puncak Merbabu, para petani sudah menyemai harap di petak-petak ladang mereka, tangan-tangan mereka cekatan menyentuh daun dan buah basah, seolah sedang berkomunikasi dengan bumi.

Ini bukan sekadar bertani, ini adalah ritual merawat kehidupan, saya melihat sebuah tarian abadi antara manusia dan alam. Jemari yang diayunkan bukan sekadar memetik, melainkan pena yang menuliskan takdir pada panen.

Sementara para ibu, layaknya arsitek rumah tangga, meracik sarapan dengan aroma nasi dan sayur rebusan yang semerbak, mengundang nafsu makan yang telah dibangun oleh udara pegunungan.

Sore hari di Gondang, Batur adalah kanvas yang dilukis dengan nuansa jingga dan kehangatan. Anak-anak di Gondnag yang polah tingkahnya (tingkah lakunya) tak ubahnya gambaran kegembiraan, berlarian di halaman dingin, tawa mereka pecah bagai butiran air yang jatuh dari langit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun