Beberapa waktu lalu, Indonesia dihebohkan dengan berita kasus korupsi yang menimpa salah satu anak perusahaan minyak milik negara Pertamina, Patra Niaga. Korupsi tersebut salah satunya terjadi dalam bentuk penyelewengan bahan bakar yang dijual oleh perusahaan minyak milik negara tersebut.
Sebagai perusahaan penyedia bahan bakar, Pertamina menyediakan berbagai jenis bahan bakar minyak dengan tingkat oktan (RON) yang berbeda-beda. Pertalite misalnya, merupakan jenis bahan bakar level paling rendah, dengan tingkat RON 90. Sementara itu, Pertamax memiliki level lebih tinggi dengan tingkat RON 92.
Sebagai bahan bakar dengan harga termurah, Pertalite merupakan jenis bahan bakar yang mendapat subsidi dari pemerintah, dan hanya diperuntukkan untuk kendaraan tertentu, seperti kendaraan umum. Sementara itu, Pertamax sebagai bahan bakar non-subsidi umumnya banyak dipakai oleh kendaraan pribadi.
Pada kenyataannya, kasus korupsi tersebut membongkar penyelewengan di mana ternyata selama ini bahan bakar jenis Pertamax dioplos dengan jenis bahan bajar Pertalite. Tidak tanggung-tanggung, nilai korupsi tersebut mencapai lebih dari 193 triliun rupiah, atau sekitar 11 miliar USD (kompas.id, 7/3/2025).
Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan, penyelewengan tersebut telah terjadi sejak tahun 2018. Karena terbongkarnya kasus tersebut, aparat penegak hukum akhirnya menangkap beberapa petinggi dari Pertamina Patra Niaga dan juga beberapa perusahaan yang menjadi partner. Setidaknya, sudah ada 9 orang yang menjadi tersangka dari kasus korupsi tersebut (tempo.co, 14/3/2025).
Kasus ini sontak membuat amarah masyarakat meledak. Bagaimana tidak, bahan bakar yang dianggap berkualitas cukup tinggi, yang selama ini digunakan untuk kendaraan mereka, ternyata dioplos dengan bahan bakar subsidi dengan kualitas yang paling rendah. Belum lagi, Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan milik negara yang menjadi pengelola dan penyedia bahan bakar memiliki dominasi pasar yang sangat besar, khususnya di kota-kota kecil dan perdesaan.
Pertamina sendiri dalam hal ini mengeluarkan pernyataan pembelaan diri dengan menyatakan bahan bakar yang dijual sesuai dengan spek yang tertera, dan tidak ada kasus penyelewengan. Namun, hal ini berbanding terbalik dari temuan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yang menemukan kasus pengoplosan bahan bakar tingkat oktan (RON) yang lebih tinggi dengan tingkat yang lebih rendah (bbc.com, 25/2/2025).
Tidak mengherankan, kasus ini tentunya memiliki dampak yang negatif terhadap kepercayaan publik atas produk bahan bakar yang dijual oleh Pertamina. Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas misalnya, 56,8% publik menyatakan tidak percaya dengan kualitas produk bahan bakar yang dijual oleh Pertamina, dan menyangsikan bahwa produk yang disajikan tidak sesuai dengan standar (kompas.id, 13/4/2025).
Akibat dari terbongkarnya kasus ini, akhirnya banyak konsumen yang beralih untuk mengisi bahan bakar ke stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) swasta, Shell, Total, Vivo, dan BP. Beberapa waktu terakhir ini misalnya, antrian di SPBU swasta terlihat jauh lebih panjang dan ramai dibandingkan dengan waktu-waktu sebelum kasus korupsi ini terbongkar (radardepok.com, 7/3/2025).
Tetapi sayangnya, kesempatan untuk mendapatkan akses terhadap produk bahan bakar swasta yang bukan dari Pertamina hanya bisa didapatkan oleh masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Masyarakat yang tinggal di kota kecil dan perdesaan mau tidak mau harus bergantung pada bahan bakar yang disediakan oleh Pertamina.