Obat Antibiotik merupakan terapi kesehatan yang sudah tidak asing di telinga kita, obat ini seringkali dijadikan andalan dalam segala jenis penyakit. Antibiotik adalah senyawa obat yang dihasilkan dari mikroorganisme untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen(Samosir et al., 2023). Mekanisme antibiotik dalam membunuh bakteri dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan menyerang dinding selnya, menghambat proses sintesis protein, dan menghancurkan DNA yang ada pada inti sel bakteri tersebut(Anggita et al., 2022). Perbedaan mekanisme kerja ini disesuaikan dengan bakteri apa yang ingin dimusnahkan, contohnya apabila bakteri yang diserang memiliki dinding sel yang tebal maka antibiotik yang dipilih adalah yang bekerja dengan cara menyerang dinding selnya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pemakaian antibiotik tidak boleh sembarangan dan harus sesuai dengan pengawasan medis.
 Walaupun penggunaan obat antibiotik ini praktis dan cepat, tetapi tetap perlu dengan pengawasan medis salah satunya yaitu dengan resep dokter. Disebabkan karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan permasalahan, salah satunya yaitu terjadinya resistensi antibiotik. Data menunjukkan bahwa kasus resistensi antibiotik banyak ditemukan di negara dengan pengahasilan rendah sampai menengah(WHO, 2014). Hal ini menjadi alasan banyaknya kasus yang ditemukan terhadap penyalahgunaan antibiotik di berbagai negara termasuk Indonesia. Kesalahan ini dapat menyebabkan resistensi bakteri yang menimbulkan dampak negatif, mulai dari meningkatnya efek samping obat sampai menyebabkan kematian. Resistensi antibiotik merupakan kemampuan mikroorganisme dalam menghambat efektivitas kinerja antibiotik(Kurnianto & Syahbanu, 2023). Meningkatnya resistensi antibiotik di Indonesia terus terjadi setiap tahunnya, beberapa jenis antibiotik, seperti ampisilin, ko-amoksiklav, tetrasiklin, sulfonamid, siprofloksasin, klindamisin, dan eritromisin, telah menunjukkan tingkat resistensi yang melebihi 50% dari total penggunaannya(Putri, 2023). Tingginya angka ini menunjukkan masalah serius terkait resistensi antibiotik, salah satu penyebabnya adalah rendahnya pemahaman masyarakat dalam mengonsumsi antibiotik yang efektif dan tepat.
Untuk mengetahui mengapa permasalahan resistensi antibiotik ini menjadi ancaman serius, kita harus mengetahui bagaimana mekanisme resistensi antibiotik yang terjadi. Mekanisme ini terjadi bermacam-macam, salah satunya yang paling sering menyebabkan resistensi ini adalah inhibisi enzim atau menghalangi cara kerja enzim. Bakteri punya dua cara untuk menonaktifkan obat, yaitu dengan mengurai langsung obat tersebut atau menambahkan gugus kimia ke obat. Ikatan langsung antara enzim bakteri dan antibiotik serta pemecahan terjadi karena reaksi hidrolitik dari antibiotik. Di sisi lain, penonaktifan obat dengan memindahkan gugus kimia adalah dengan cara penambahan gugus asetil, adenil, atau fosfat dari bakteri ke bagian tertentu antibiotik dilakukan untuk mengubah struktur kimia dan menonaktifkan agen antimikroba, sehingga bakteri tak bisa menempel di targetnya(Fadrian, 2023, hlm. 17).
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa setiap kali tubuh merasa sakit, antibiotik dapat menjadi solusi yang ampuh, padahal anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Kesalahan anggapan ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat dalam mengonsumsi antibiotik(Marsudi, 2022). Selain itu, kemudahan akses untuk mendapatkan antibiotik di toko-toko obat dan apotek menjadi faktor lain dalam memperburuk permasalahan ini, sehingga penggunaan antibiotik secara bebas dikonsumsi oleh masyarakat.
Anggapan masyarakat yang salah tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman. Contohnya penggunaan antibiotik untuk mengobati penyakit seperti influenza dan batuk, hal tersebut adalah langkah yang kurang tepat, karena penyakit-penyakit tersebut sebagian besar disebabkan oleh virus dan bukan bakteri(Mardiyah et al., 2024). Akibatnya, antibiotik yang dikonsumsi kurang bereaksi secara signifikan dalam mengurangi penyakit tersebut, sebaliknya justru dapat menimbulkan resistensi yang bisa merugikan kesehatan jika dikonsumsi terus-menerus.
Selain merugikan kesehatan diri, penggunaan antibiotik yang tidak rasional juga bisa merugikan secara ekonomi karena akan memerlukan perawatan yang lebih lama dan juga obat yang digunakan untuk menangani resistensi antibiotik ini biasanya lebih mahal(Hadi et al., 2018). Karena banyaknya kerugian yang disebabkan dari resistensi antibiotik ini, diperlukan pencegahan agar permasalahan resistensi antibiotik ini tidak semakin banyak dialami oleh masyarakat luas. Langkah utama yang harus diambil adalah membiasakan diri dengan mengonsumsi obat antibiotik sesuai dengan anjuran dengan dokter, dengan menghabiskannya ataupun tidak menyimpannya setelah tidak dikonsumsi lagi.
Selain itu, dukungan dari pemerintah dan pihak terkait juga tidak kalah penting, yaitu dengan diadakannya penyuluhan mengenai cara pengonsumsian antibiotik yang baik dan tepat. Dengan adanya penyuluhan diharapkan masyarakat dapat membagi informasi terhadap orang sekitarnya mengenai penggunaan antibiotik yang baik dan tepat(Primadiamanti et al., 2024). Peran apoteker juga sangat penting untuk mengawasi pendistribusian obat antibiotik di fasilitas kesehatan sekaligus mengarahkan kepada masyarakat agar tidak mengonsumsi antibiotik tanpa resep dokter. Dengan demikian, usaha-usaha tersebut diharapkan mampu menciptakan kebijakan masyarakat dalam mengonsumsi antibiotik dan mencegah terjadinya resistensi yang tidak hanya merugikan setiap individu, tetapi juga masyarakat luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI