Di zaman sekarang ini hampir semua siswa memiliki ponsel, kebanyakan sekolah mengizinkan siswanya membawa ponsel ke dalam kelas, entah itu disimpan di dalam tas, di atas meja atau digunakan siswa saat guru sedang mengajar. Gadget yang awalnya diharapkan bisa menunjang proses belajar, justru gadget kini menjadi sumber gangguan utama. Banyak siswa yang lebih sibuk memeriksa notifikasi media sosial atau bermain gim ketimbang memperhatikan pelajaran. Hal ini bukanlah suatu kejadian yang baru, tetapi sudah menjadi masalah serius di dunia pendidikan Indonesia saat ini.
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa teknologi membawa banyak manfaat. Dengan gadget ini, siswa bisa mencari informasi dengan cepat, belajar lewat video edukatif dengan melihat video pembelajaran di YouTube, atau sebagai media pembelajaran daring dan bisa digunakan untuk berdiskusi secara online. Gadget memang memberikan kemudahan untuk mengakses informasi tanpa batas. Tetapi, di balik kemudahan itu, ada dampak yang sering tidak disadari. Terlalu sering menggunakan gadget dapat membuat siswa kehilangan konsentrasi, sulit fokus dan akhirnya menurunkan prestasi belajar.
Penelitian dari Universitas Indonesia (2022) menemukan bahwa siswa yang memakai ponsel lebih dari empat jam per hari memiliki tingkat konsentrasi 30% lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang memakai kurang dari dua jam. Dampaknya terlihat pada penurunan akademik mereka. Temuan ini juga sejalan dengan laporan dari Kemendikbudristek (2023) yang menyebutkan bahwa gangguan dari digital menjadi salah satu penyebab utama turunnya prestasi belajar setelah pandemi. Banyak siswa yang sulit konsentrasi karena otak mereka terbiasa berpindah perhatian dengan cepat akibat notifikasi dari media sosial.
Dari sudut pandang sosiologis, kejadian ini menunjukkan adanya perubahan pola perilaku siswa dalam dunia pendidikan. Gadget mengubah cara siswa belajar dan berinteraksi. Jika dahulu belajar identik dengan membaca buku atau berdiskusi secara langsung, tetapi sekarang banyak yang lebih memilih mencari jawaban cepat di internet tanpa memahami konsepnya secara mendalam. Kebiasaan mencari informasi instan ini membuat kemampuan berpikir kritis dan semangat belajar perlahan terkikis.
Interaksi sosial di lingkungan mengalami perubahan akibat penggunaan gadget yang berlebihan. Banyak siswa kini lebih sering berkomunikasi lewat ponsel dibandingkan berbicara secara langsung dengan teman di kelasnya. Kondisi tersebut membuat empati dan kemampuan komunikasi tatap muka siswa perlahan menurun. Dari susut pandang antropologis, kejadian ini menunjukkan pergeseran kebiasaan belajar di masyarakat. Nilai-nilai seperti kesabaran dan ketekunan yang dahulu dijunjung tinggi mulai tergantikan oleh kebiasaan serba cepat dan instan.
Gadget sebenarnya tidak perlu menjadi musuh dalam pendidikan saat ini. Masalahnya bukan pada teknologi itu sendiri, tetapi bagaimana kita menggunakannya. Dalam proses belajar, teknologi seharusnya berfungsi sebagai alat bantu yang memperkaya pengalaman, bukan menggantikan peran pembelajaran secara utuh. Oleh karena itu, peran sekolah dan keluarga sangat penting untuk memperkenalkan literasi digital pada anak sejak dini. Siswa perlu diarahkan dan dipantau agar bisa memakai gadget dengan cara yang bijak, produktif, dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu cara yang bisa diterapkan adalah dengan menentukan waktu belajar tanpa menggunakan ponsel agar fokus tetap terjaga. Selain itu, guru dapat memanfaatkan teknologi dalam kegiatan belajar yang terstruktur, seperti membuat proyek digital, melakukan penelitian online atau mengadakan diskusi interaktif berbasisi media digital. Dengan cara ini, gadget bukan lagi pengganggu, melainkan media yang membantu menumbuhkan kreativitas dan semangat belajar siswa.
Peran guru sangatlah penting dalam hal ini. Alih-alih melarang penggunaan ponsel pada siswa, guru bisa mengarahkan siswa agar memanfaatkan gadget untuk kegiatan belajar yang bermanfaat, seperti mencari referensi tambahan atau mengerjakan proyek digital. Di sisi lain, orang tua juga perlu memberikan teladan yang baik di rumah. Anak-anak cenderung meniru perilaku orang tua, jadi jika orang tau sibuk dengan ponsel, anak pun akan melakukan hal serupa. Oleh karena itu, pengawasan dan pendampingan dari orang tua sangat dibutuhkan untuk membantu membentuk kebiasaan digital yang positif.
Sebagai mahasiswa sekaligus calon pendidik, kita perlu melakukan refleksi diri. Di era informasi yang begitu cepat ini, fokus dan ketenangan justru menjadi hal yang sulit ditemukan. Tantangan kita bukan cuma mempelajari teknologi, tetapi juga mengendalikan diri agar teknologi tidak menguasai kita. Mengatur waktu, membatasi pemakaian media sosial, serta melatih kemampuan fokus adalah langkah sederhana yang sebenarnya bisa membawa perubahan besar.
Kalau dipikir lagi, gadget itu ibarat pisau bermata dua. Jika digunakan dengan bijak, gadget bisa jadi alat belajar yang sangat berguna. Namun, jika salah pemakaian, justru bisa menjadi pengalih perhatian yang menghambat perkembangan diri. Oleh karena itu, solusi terbaik bukan dengan melarang, tapi dengan memberikan edukasi. Sekolah, guru, dan orang tua harus bersinergi untuk menciptakan suasana belajar yang seimbang antara dunia digital dan kehidupan nyata.
Pada akhirnya, yang penting bukan lagi apakah gadget diperlukan dalam dunia pendidikan, melainkan bagaimana cara kita menggunakannya dengan tepat. Kita tidak bisa kembali ke zaman tanpa teknologi, tapi kita bisa belajar untuk hidup berdampingan dengan gadget secara sehat dan produktif. Mari manfaatkan gadget sebagai alat bantu dalam proses belajar, bukan sebagai pengalih perhatian. Karena masa depan pendidikan Indonesia bergantung pada generasi yang mampu menggunakan teknologi tanpa kehilangan fokus dan semangat untuk terus belajar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI