Mohon tunggu...
Hadza Tsabitul
Hadza Tsabitul Mohon Tunggu... Mahasiswa

Cahaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Hujan dan Kastil Edinburgh

26 Mei 2025   18:54 Diperbarui: 26 Mei 2025   18:54 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta - Antara Hujan dan Kastil Edinburgh

Hari ini hujan turun dengan lembut, mengetuk atap dan jendela seperti bisikan lirih yang penuh rahasia. Jejak-jejak air mengalir di jalanan, perlahan memudar, seiring waktu yang terus berjalan. Namun, apakah mimpi-mimpi yang tersimpan dalam sunyi juga akan lenyap begitu saja, atau justru menunggu saatnya untuk hidup kembali?. Aku menatap layar laptop, memperhatikan vidio Kastil Edinburgh yang berdiri megah di puncak bukit berbatu, diselimuti kabut tipis, seolah-olah seperti menyimpan ribuan rahasia yang menunggu untuk ditemukan.

"Kapan aku bisa benar-benar melihatnya?" bisikku pada sunyi di ruangan itu.

Sudah sejak lama, Edinburgh telah menjadi impian yang kusimpan dalam setiap lembar diary yang kutulis. Kota tua dengan jalanan berbatu, bangunan berusia ratusan tahun, dan udara yang membawa aroma hujan serta cerita lama yang terpendam. Sejenak kubayangkan diriku menyusuri Royal Mile, mendengar senandung para musisi di jalanan, duduk di sebuah kafe kecil, menuliskan kata-kata tentang mimpi dan  mewujudkannya untuk menjadi kenyataan yang tak dapat dilupakan.

Namun, seperti hujan yang sering turun tanpa peringatan, hidup tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan.

Tapi, kenyataan kerap menjelma kabut tipis yang menggantung di antara harapan dan keraguan, ia menyelimuti jalan, mengaburkan arah, seolah mengujiku dengan kesabaran yang nyaris pupus. Aku merajut mimpi itu dengan benang-benang tekad, menabur keyakinan di setiap celah ketidakpastian, berharap semesta berbisik dan membuka pintu yang tersembunyi. Namun, waktu terus berlari dengan cepat, dan Kota itu tetap seperti bintang di langit musim dingin, berkilau, menggoda, tetapi terasa tak tergapai. Benarkah?

Sering kali ku panjatkan doa pada sang Illahi , adakah takdir mengizinkan langkahku menjejak tanah impian? Ataukah ini hanya bayang semu yang bermain di ujung lamunan, hadir hanya untuk kusaksikan, namun tak untuk kugapai? Tapi, semakin ku mencoba melupakannya, semakin lirih ia memanggil, seperti nyanyian angin yang menyusup di sela jendela, lembut, tak terelakkan.

Malam-malam panjang kulewati dengan membaca kisah orang-orang yang pernah melangkah di jalan yang kini masih menjadi impianku. Aku mempelajari setiap sudut kota itu melalui peta digital, menelusuri lorong-lorongnya dalam imajinasiku. Aku tahu, suatu hari nanti, aku ingin berdiri di Arthur's Seat, membiarkan angin Kota itu menyapu wajahku, menyaksikan matahari tenggelam di balik gedung-gedung tua yang menyimpan sejarah berabad-abad lamanya.

Namun, di antara harapan dan kenyataan, ada batas tipis yang kerap menguji keyakinan. Tak terhitung berapa kali aku merasa langkahku terhenti, seolah dunia mengujiku dengan serangkaian ketidakpastian yang membuatku nyaris menyerah. Biaya perjalanan yang tak sedikit, waktu yang terus berjalan, dan realitas hidup yang kadang tak berpihak pada seorang pemimpi. Tapi, bukankah impian adalah sesuatu yang harus diperjuangkan?

Aku mulai menyusun rencana, mencari jalan meskipun masih terasa samar. Mungkin aku harus menabung lebih banyak, mencari peluang lain yang bisa membawaku ke sana. Aku menyadari, Kota itu tak akan ke mana-mana. Ia tetap akan berdiri megah, menungguku, seperti impian yang tak pernah padam dalam dadaku.

Di tengah rinai hujan yang terus turun, aku menutup mata dan berbisik lirih dalam hati. Jika memang takdir mengizinkan, jika semesta merestui, dan jika doa-doaku melayang ke langit tanpa tersesat, maka suatu hari nanti, aku akan menjejakkan kaki di kota itu. Aku akan berdiri di sana, membiarkan angin Edinburgh menyentuh wajahku, dan mengingat setiap langkah yang telah kutempuh untuk sampai ke sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun