Tanggal 24 September 2025 menjadi momen yang sangat berharga bagi saya. Akhirnya saya bisa melihat anak sulung saya diwisuda di IPB University. Salah satu kampus besar di Indonesia. Bagi orang lain mungkin pencapaian biasa, tapi bagi saya ini adalah pencapaian luar biasa, pencapaian besar. Ini pencapaian enam sentimeter, bagi saya yang hanya tiga sentimeter tentu menjadi sesuatu yang sangat berarti.Â
Di luar itu, ada hal yang juga luar biasa selama saya mengikuti prosesi wisuda ini, yaitu pesan rektor IPB University, Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si. kepada para wisudawan. Selama kurang lebih satu jam, materi yang beliau sampaikan benar-benar "daging semua", dan saya menikmatinya. Tidak hanya bermanfaat bagi para wisudawan, tapi juga bagi orang tua, khususnya saya.
Memang saya sudah pernah membaca atau mendengar sebagian besar dari materi itu. Namun, dengan segala kesibukan pekerjaan dan rutinitas lainnya, saya sering kali lupa bahkan melupakan kembali ilmu-ilmu yang dulu pernah saya pahami. Mendengar ulang dengan suasana yang berbeda, terlebih di momen berharga itu, rasanya lebih merasuk ke dalam pikiran. Seperti batere HP yang sudah mendekati 0% kemudian dicas kembali. Pikiran kembali powerfull, penuh dengan energi kehidupan.Â
Salah satu yang membuat saya tertegun adalah pesannya tentang konsep performance plateau dan learning agility.
Dalam hidup, kita sering merasa sudah berusaha maksimal, sudah mencapai titik tertentu yang memuaskan, tetapi ternyata berhenti di situ saja. Tidak ada lagi perkembangan yang berarti, meski waktu terus berjalan. Itulah yang disebut dengan performance plateau. Grafiknya seperti garis yang awalnya menanjak, lalu melambat, hingga akhirnya datar. Kita berhenti belajar, berhenti bertumbuh, dan akhirnya terjebak dalam zona nyaman.
Saya teringat pada banyak contoh nyata. Ada seorang guru yang puluhan tahun mengajar dengan cara konvensional. Ia merasa sudah cukup baik, murid-muridnya bisa memahami, jadi buat apa berubah. Namun, ketika pandemi datang, tiba-tiba semua dipaksa belajar teknologi. Ada guru yang gagap, menolak, bahkan stres menghadapi perubahan. Tapi ada juga guru yang cepat beradaptasi, belajar menggunakan Zoom, Google Classroom, sampai membuat konten kreatif di media sosial. Guru yang kedua inilah gambaran nyata learning agility.
Hal serupa bisa kita lihat pada pedagang tradisional. Banyak yang merasa cara lama sudah cukup: membuka lapak di pasar, menunggu pembeli datang, lalu transaksi selesai. Tapi ketika generasi muda mulai berjualan lewat marketplace dan media sosial, para pedagang lama mulai ditinggalkan. Ada yang terpuruk karena menolak berubah, namun ada juga yang dengan semangat belajar ikut menjual di Shopee atau TikTok Shop. Mereka yang mau belajar itulah yang berhasil melompati plateau dan bertahan di tengah perubahan.
Bahkan di dunia kerja, kisah ini terus berulang. Banyak karyawan yang merasa aman karena sudah bertahun-tahun bekerja di posisi yang sama. Mereka menguasai rutinitas, tahu jalur aman, dan tidak lagi berusaha belajar hal baru. Tapi saat teknologi kecerdasan buatan (AI) masuk, pekerjaan mereka tergantikan. Ada yang panik, ada yang marah, ada yang tidak siap. Namun, karyawan yang mau belajar menggunakan AI justru bisa naik level: dari sekadar input data menjadi analis yang memanfaatkan hasil kerja mesin. Di sinilah terlihat perbedaan besar antara mereka yang terjebak di performance plateau dan mereka yang memiliki learning agility.
Mengapa banyak orang berhenti di plateau? Karena terlalu nyaman. Karena takut gagal ketika mencoba hal baru. Karena pola pikir yang kaku bahwa kemampuan adalah bawaan lahir, bukan sesuatu yang bisa dilatih. Padahal, dunia tidak pernah berhenti bergerak. Apa yang dianggap cukup hari ini bisa jadi usang dalam hitungan bulan. Kalau kita berhenti belajar, sesungguhnya kita sedang berjalan mundur.